twitter



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu cara untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dengan yang lain adalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan dalam hubungannya dengan objek apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi), bagaimana cara mengetahui pengetahuan tersebut (epistemologi) dan apa fungsi pengetahuan tersebut (aksiologi).
Ontologi berasal dari bahasa Yunani, ontos (yang sedang berada) dan logos (ilmu). Dalam hal ini, ontologi diartikan sebagai suatu cabang metafisika yang berhubungan dengan kajian mengenai eksistensi itu sendiri. Ontologi mengkaji sesuai yang ada, sepanjang sesuatu itu ada. Clauberg menyebut ontologi sebagai “ilmu pertama”, yaitu studi tentang yang ada sejauh ada. Studi ini dianggap berlaku untuk semua entitas, termasuk Allah dan semua ciptaan, dan mendasari teologi serta fisika.
Sesuai dengan judul makalah ini, maka penulis akan membahas tentang perbandingan antara ontologi sains dan ontologi filsafat. Adapun jika nantinya ada penjelasan yang tidak sesuai, sebelumnya penulis memohon maaf.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, muncul beberapa pertanyaan yang nantinya menjadi bahan dalam penjabaran makalah ini, yaitu :
  1. Apa dan bagaimana ontologi sains itu ?
  2. Apa dan bagaimana ontologi filsafat itu ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Ontologi Sains
1. Hakikat Pengetahuan Sains
Pengetahuan sains yang dimaksud adalah pengetahuan yang bersifat rasional – empiris. Masalah rasional dan empiris inilah yang akan dibahas.
Pertama, masalah rasional. Dalam sains, pernyataan atau hipotesis yang dibuat haruslah berdasarkan rasio. Misalnya hipotesis yang dibuat adalah “makan telur ayam berpengaruh positif terhadap kesehatan”. Hal ini berdasarkan rasio : untuk sehat diperlukan gizi, telur ayam banyak mengandung nilai gizi, karena itu, logis bila semakin banyak makan telur ayam akan semakin sehat.
Hipotesis ini belum diuji kebenarannya. Kebenarannya barulah dugaan. Tetapi hipotesis itu telah mencukupi syarat dari segi kerasionalannya. Kata “rasional” di sini menunjukkan adanya hubungan pengaruh atau hubungan sebab akibat.
Kedua, masalah empiris. Hipotesis yang dibuat tadi diuji (kebenarannya) mengikuti prosedur metode ilmiah. Untuk menguji hipotesis ini digunakan metode eksperimen. Misalnya pada contoh hipotesis di atas, pengujiannya adalah dengan cara mengambil satu kelompok sebagai sampel, yang diberi makan telur ayam secara teratur selama enam bulan, sebagai kelompok eksperimen. Demikian juga, mengambil satu kelompok yang lain, yang tidak boleh makan telur  ayam selama enam bulan, sebagai kelompok kontrol. Setelah enam bulan, kesehatan kedua kelompok diamati. Hasilnya, kelompok yang teratur makan telur ayam rata-rata lebih sehat.
Setelah terbukti (sebaiknya eksperimen dilakukan berkali-kali), maka hipotesis yang dibuat tadi berubah menjadi teori. Teori ”makan telur ayam berpengaruh terhadap kesehatan” adalah teori yang rasional – empiris. Teori seperti ini disebut sebagai teori ilmiah (scientific theory).
Cara kerja dalam memperoleh teori tadi adalah cara kerja metode ilmiah. Rumus baku metode ilmiah adalah : logico – hypotheticom – verificatif (buktikan bahwa itu logis – tarik hipotesis – ajukan bukti empiris).
Pada dasarnya cara kerja sains adalah kerja mencari hubungan sebab akibat, atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sains ialah tidak ada kejadian tanpa sebab. Asumsi ini benar bila sebab akibat itu memiliki hubungan rasional.
Ilmu atau sains berisi teori. Teori itu pada dasarnya menerangkan hubungan sebab akibat. Sains tidak memberikan nilai baik atau buruk, halal atau haram, sopan atau tidak sopan, indah atau tidak indah; sains hanya memberikan nilai benar atau salah.
2. Struktur Sains
Ahmad  Tafsir, membagi sains menjadi dua, yaitu sains kealaman dan sains sosial. Dalam makalah ini, hanya ditulis beberapa ilmu.
  1. Sains Kealaman
  • Astronomi
  • Fisika : mekanika, bunyi, cahaya dan optik, fisika nuklir
  • Kimia : kimia organik, kimia an organik, kimia teknik
  • Ilmu Bumi : paleontologi, geofisika, mineralogi, geografi
  • Ilmu Hayat : biofisika, botani, zoologi
  1. Sains Sosial
  • Sosiologi : sosiologi pendidikan, sosiologi komunikasi
  • Antropologi : antropologi budaya, antropologi politik, antropologi ekonomi
  • Psikologi : psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal
  • Ekonomi : ekonomi makro, ekonomi lingkungan
  • Politik : politik dalam negeri, politik hukum, politik internasional
1.      B. Ontologi Filsafat
1. Hakikat Pengetahuan Filsafat
Poedjawijatna mendefinisikan filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan akal pikiran belaka, sedangkan Bakry mengatakan bahwa filsafat adalah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
Kedua definisi di atas menjelaskan satu hal yang penting bahwa filsafat adalah pengetahuan yang diperoleh dari berfikir, dan hasilnya berupa pemikiran (yang logis tetapi tidak empiris).
2. Struktur Filsafat
Filsafat terdiri atas tiga cabang besar, yaitu : ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi mencakup banyak sekali filsafat, mungkin semua filsafat masuk di sini,misalnya : logika, metafisika, kosmologi, teologi, antropologi, etika, estetika, filsafat pendidikan, filsafat hukum, dan lain-lain. Epistemologi hanya mencakup satu bidang saja yang disebut Epistemologi, yang membicarakan cara memperoleh pengetahuan itu. Sedangkan aksiologi hanya mencakup satu cabang saja, yaitu Aksiologi, yang membicarakan guna pengetahuan filsafat. Ini pun berlaku bagi semua cabang filsafat. Inilah kerangka struktur filsafat.
C. Analisis Perbandingan Ontologi Sains dan Ontologi Filsafat
Dari penjelasan tentang ontologi sains dan filsafat di atas, kita dapat membandingkan dan membedakan antara sains dan filsafat, yaitu :
  1. Sains merupakan ilmu yang bersifat rasional – empiris yakni teori yang dibuat sesuai logika dan kenyataan, sedangkan filsafat adalah ilmu yang hanya logis tapi tidak empiris, karena hanya berdasar pada pemikiran semata.
  2. Karena sains adalah ilmu yang rasional empiris, maka struktur sains dibagi berdasarkan obyeknya, menjadi sains kealaman dan sains sosial. Sedangkan filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu secara mendalam hanya dengan menggunakan fikiran. Struktur filsafat dibagi menjadi : ontologi (membicarakan hakikat), epistemologi (cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologi (membicarakan guna pengetahuan itu).

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
  1. Pengetahuan sains adalah pengetahuan yang bersifat rasional empiris.
  2. Struktur sains dibagi menjadi sains kealaman dan sains sosial
  3. filsafat adalah pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu sedalam-dalamnya sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
  4. Filsafat terdiri atas tiga cabang besar, yaitu : ontologi, epistemologi dan aksiologi.
  5. Sains merupakan ilmu yang bersifat rasional empiris yakni sesuai logika dan teori sesuai dengan kenyataan, sedangkan filsafat adalah ilmu yang hanya logis tapi tidak empiris.
B. Saran
Adapun saran yang diberikan oleh penulis adalah :
  1. Untuk memperdalam pengetahuan tentang ontologi sains dan ontologi filsafat, disarankan untuk membaca buku-buku filsafat lain, terutama yang ada dalam referensi makalah ini.
  2. Dalam mata kuliah Filsafat Ilmu, disarankan agar teman-teman melakukan diskusi, agar dapat menambah pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA
Agussalim, A.M., Drs.,M.Si. Filsafat Ilmu Sebagai Metode Berpikir dan Ilmiah. UPT. Mata Kuliah Umum. Universitas Negeri Makassar.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta : Gramedia, 2002
Komaruddin, Prof. dan Dra. Yooke Tjurpamah, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah Ed. 1 Cet. 2; Jakarta : Penerbit Bumi Aksara, 2002
Tafsir, Ahmad, Prof. Dr. Filsafat Ilmu. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006
Prof. Komaruddin dan Dra. Yooke Tjurpamah, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah. (Ed. Q Cet. 2, Jakarta : Penerbit Bumi Aksara, 2002). h. 169
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta : Gramedia, 2002), h. 747
[Fred N. Kerlinger dalam Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006), h. 24.
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006), h. 25.
Ibid, h. 67
Ibid, h. 69



Sekalipun Weinberg dan Gould (1995) memberikan pandangan yang hampir serupa atas psikologi olahraga dan psikologi latihan (exercise psychology), karena banyak kesamaan dalam pendekatannya, beberapa peneliti lain (Anshel, 1997; Seraganian, 1993; Willis & Campbell, 1992) secara lebih tegas membedakan psikologi olahraga dengan psikologi latihan. Weinberg dan Gould, (1995) mengemukakan bahwa psikologi olahraga dan psikologi latihan memiliki dua tujuan dasar:
Mempelajari bagaimana faktor psikologi mempengaruhi performance fisik individu
memahami bagaimana partisipasi dalam olahraga dan latihan mempengaruhi perkembangan individu termasuk kesehatan dan kesejahteraan hidupnya
Di samping itu, mereka mengemukakan bahwa psikologi olahraga secara spesifik diarahkan untuk:
membantu para professional dalam membantu atlet bintang mencapai prestasi puncak
membantu anak-anak, penderita cacat dan orang tua untuk bisa hidup lebih bugar
meneliti faktor psikologis dalam kegiatan latihan dan
memanfaatkan kegiatan latihan sebagai alat terapi, misalnya untuk terapi depressi (Weinberg & Gould, 1995).
Sekalipun belum begitu jelas letak perbedaannya, Weiberg dan Gould (1995)telah berupaya untuk menjelaskan bahwa psikologi olahraga tidak sama dengan psikologi latihan. Namun dalam prakteknya biasanya memang terjadi saling mengisi, dan kaitan keduanya demikian eratnya sehingga menjadi sulit untuk dipisahkan. Tetapi Seraganian (1993) serta Willis dan Campbell (1992) secara lebih tegas mengemukakan bahwa secara tradisional penelitian dan praktik psikologi olahraga diarahkan pada hubungan psikofisiologis misalnya responsi somatik mempengaruhi kognisi, emosi dan performance. Sedangkan psikologi latihan diarahkan pada aspek kognitif, situasional dan psikofisiologis yang mempengaruhi perilaku pelakunya, bukan mengkaji performance olahraga seorang atlet. Adapun topik dalam psikologi latihan misalnya mencakup dampak aktivitas fisik terhadap emosi pelaku serta kecenderungan (disposisi) psikologi, alasan untuk ikut serta atau menghentikan kegiatan latihan olahraga, perubahan pribadi sebagai dampak perbaikan kondisi tubuh atas hasil latihan olahraga dan lain sebagainya (Anshel, 1997).
Jelaslah kini bahwa psikologi olahraga lebih diarahkan para kemampuan prestatif pelakunya yang bersifat kompetitif; artinya, pelaku olahraga, khususnya atlet, mengarahkan kegiatannya olahraganya untuk mencapai prestasi tertentu dalam berkompetisi, misalnya untuk menang. Sedangkan psikologi laithan lebih terarah pada upaya membahas masalah-masalah dampak aktivitas latihan olahraga terhadap kehidupan pribadi pelakunya. Dengan kata lain, psikologi olahraga lebih terarah pada aspek sosial dengan keberadaan lawan tanding, sedangkan psikologi latihan lebih terarah pada aspek individual dalam upaya memperbaiki kesejahteraan psikofisik pelakunya.
Sekalipun demikian, kedua bidang ini demikian sulit untuk dipisahkan, karena individu berada di dalam konteks sosial dan sosial terbentuk karena adanya individu-individu. Di samping itu kedua bidang ini melibatkan aspek psikofisik dengan aktivitas aktivitas yang serupa, dan mungkin hanya berbeda intensitasnya saja karena adanya faktor kompetisi dalam olahraga.
Sejarah Psikologi Olahraga di Indonesia
Jadi, di satu pihak seorang praktisi psikolog yang memiliki ijin praktik belum tentu memiliki cukup pengetahuan ilmu keolahragaan, di lain pihak, pakar keolahragaan tidak dibekali pendidikan khusus psikoterapi dan konseling. Akibatnya, sampai saat ini masih terjadi kerancuan akan siapa sesungguhnya yang berhak memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Idealnya adalah seorang konsultan atau psikoterapis memperoleh pelatihan khusus dalam bidang keolahragaan; sehingga sebagai seorang praktisi ia tetap berada di atas landasan professinya dengan mengikuti panduan etika yang berlaku, dan di samping itu pengetahuan keolahragaannya juga cukup mendukung latar belakang pendidikan formalnya.
Dalam upaya mengatasi masalah ini IPO sebagai asosiasi psikologi olahraga nasional tengah berupaya menyusun ketentuan tugas dan tanggung jawab anggotanya. Di samping itu, IPO juga tengah berupaya menyusun kurikulum tambahan untuk program sertifikasi bagi para psikolog praktisi yang ingin memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Kurikulum tersebut merupakan bentuk spesialisasi psikologi olahraga yang meliputi: 1) Prinsip psikologi olahraga, 2) Peningkatan performance dalam olahraga, 3) Psikologi olahraga terapan, 4) Psikologi senam.
Masalah lain yang juga kerapkali timbul dalam penanganan aspek psikologi olahraga adalah dalam menentukan klien utama. Sebagai contoh misalnya pengguna jasa psikolog dapat seorang atlet, pelatih, atau pengurus. Kepada siapa psikolog harus memberikan pelayanan utama jika terjadi kesenjangan misalnya antara atlet dan pengurus, padahal psikolog dipekerjakan oleh pengurus untuk menangani atlet, dan atlet pada saat tersebut adalah pengguna jasa psikologi. Di satu pihak psikolog perlu menjaga kerahasiaan atlet, di lain pihak pengurus mungkin mendesak psikolog untuk menjabarkan kepribadian atlet secara terbuka demi kepentingan organisasi. Sachs (1993) menawarkan berbagai kemungkinan seperti misalnya menerapkan perjanjian tertulis untuk memberikan keterangan; namun demikian, jika atlet mengetahui bahwa pribadinya akan dijadikan bahan pertimbangan organisasi, ia mungkin cenderung akan berperilaku defensif, sehingga upaya untuk memperoleh informasi tentang dirinya akan mengalami kegagalan. Karenanya, seorang psikolog harus dapat bertindak secara bijaksana dalam menangani masalah ini, demikian pula, hendaknya seorang pelatih yang kerapkali bertindak selaku konsultan bagi atletnya kerap kali harus mampu melakukan pertimbangan untuk menghadapi masalah yang serupa.


Atlet, Pelatih, & Lingkungan
Atlet, pelatih dan lingkungan merupakan tiga aspek yang berkaitan satu sama lain dalam membicarakan psikologi olahraga dan psikologi senam. Istilah atlet tidak terbatas pada individu yang berprofesi sebagai olahragawan, tetapi juga mencakup individu secara umum yang melakukan kegiatan olahraga. Pelatih harus dibedakan dari sekedar instruktur, karena pelatih tidak hanya mengajarkan atlet bagaimana melakukan gerakan-gerakan olahraga tertentu, tetapi juga mendidik atlet untuk memberikan respon yang tepat dalam bertingkah laku di dalam dan di luar gelanggang olahraga. Lingkungan tidak terbatas pada lingkungan fisik semata-mata tetapi juga lingkungan sosial masyarakat, termasuk di dalamnya lingkungan kehidupan tempat atlet tinggal.
Atlet, pelatih dan lingkungan adalah tiga aspek yang merupakan suatu kesatuan yang menentukan athletic performance. Istilah atlethic performance agak sulit untuk diterjemahkan karena merupakan suatu istilah spesifik yang tidak bisa disamakan artinya dengan misalnya perilaku atletik.
Atlet
Seorang atlet adalah individu yang memiliki keunikan tersendiri. Ia memiliki bakat tersendiri, pola perilaku dan kepribadian tersendiri serta latar belakang kehidupan yang mempengaruhi secara spesifik pada dirinya. Sekalipun dalam beberapa cabang olahraga atlet harus melakukannya secara berkelompok atau beregu, pertimbangan bahwa seorang atlet sebagai individu yang unik perlu tetap dijadikan landasan pemikiran. Karena, misalnya di dalam olahraga beregu, kemampuan adaptif individu untuk melakukan kerjasama kelompok sangat menentukan perannya kelak di dalam kelompoknya.
Adalah sesuatui hal yang mustahil untuk menyamaratakan kemampuan atlet satu dengan lainnya, karena setiap individu memiliki bakat masing-masing. Bakat yang dimiliki atlet secara individual ini lah yang sesungguhnya layak untuk memperoleh perhatian secara khusus agar ia dapat memanfaatkan potensi-potensinya yang ada secara maksimum.
Namun demikian, keunikan individu seorang atlet seringkali disalahartikan sebagai perilaku menyimpang (Anshel, 1997). Sebagai contoh petenis John McEnroe menggunakan perilaku marahnya untuk membangkitkan semangatnya. Namun bagi mereka yang tidak memahami hal ini menganggap McEnroe memiliki kecenderungan pemarah. Masalahnya adalah mungkin perilaku marahnya dapat mengganggu lawan tandingnya sehingga hal ini dirasakan sebagai sesuatu yang kurang sportif untuk menjatuhkan mental lawan tandingnya. Demikian pula Monica Seles sering ditegur karena lenguhannya yang keras pada saat memukul bola, namun sesungguhnya hal ini merupakan keunikan perilakunya, dan karena tidak adanya aturan khusus untuk melarang hal tersebut, sebenarnya memang Seles tidak melakukan pelanggaran apapun. Adalah juga keliru menganggap bahwa setiap atlet membutuhkan masukan dari pelatihnya pada saat menjelang pertandingan. Karena ada atlet-atlet yang lebih cendeung memilih untuk berada sendiri daripada ditemani oleh orang lain. Jadi, setiap atlet memiliki ciri khas masing-masing, dan tidak bisa dilakukan penyamarataan dalam melakukan pendekatan terhadap atlet. Hal-hal seperti inilah yang perlu difahami oleh para pembina dalam membina para atletnya. Karena justru keunikan merekalah yang membuat mereka mampu berprestasi puncak. Sedangkan mereka yang tergolong "normal" memang hanya memiliki prestasi normal-normal (biasa-biasa) saja.
Pelatih
Pelatih, seperti telah disinggung di atas, bukan sekedar instruktur olahraga yang memberitahukan atlet cara-cara untuk melakukan gerakan tertentu dala olahraga. Pelatih juga merupakan tokoh panutan, guru, pembimbing, pendidik, pemimpin, bahkan tak jarang menjadi tokoh model bagi atletnya. Pelatih sendiri juga mungkin meniru gaya pelatih lain atau pelatih senior yang melatih dirinya. Ada pepatah asing yang mengatakan "monkey see, monkey do", artinya apa yang dilihat, itulah yang dikerjakan.