tag:blogger.com,1999:blog-62619974995899067922024-03-08T12:43:46.082-08:00BAHAN PERKULIAHANIQBHALGREBYhttp://www.blogger.com/profile/08185068851376913850noreply@blogger.comBlogger4125tag:blogger.com,1999:blog-6261997499589906792.post-50205018791728504682010-10-09T10:12:00.000-07:002010-10-09T10:16:19.944-07:00Analisis Perbandingan Ontologi Sains dan Ontologi Filsafat<m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div align="center" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: center;"><b>BAB I</b></div><div align="center" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: center;"><b>PENDAHULUAN</b></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify;"><b>A. Latar Belakang </b></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Salah satu cara untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dengan yang lain adalah dengan mengajukan beberapa pertanyaan dalam hubungannya dengan objek apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (<i>ontologi</i>), bagaimana cara mengetahui pengetahuan tersebut (<i>epistemologi</i>) dan apa fungsi pengetahuan tersebut (<i>aksiologi</i>).</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Ontologi berasal dari bahasa Yunani, <i>ontos</i> (yang sedang berada) dan <i>logos </i>(ilmu). Dalam hal ini, ontologi diartikan sebagai suatu cabang metafisika yang berhubungan dengan kajian mengenai eksistensi itu sendiri. Ontologi mengkaji sesuai yang ada, sepanjang sesuatu itu ada. Clauberg menyebut ontologi sebagai <i>“ilmu pertama”</i>, yaitu studi tentang yang ada sejauh ada. Studi ini dianggap berlaku untuk semua entitas, termasuk Allah dan semua ciptaan, dan mendasari teologi serta fisika. </div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Sesuai dengan judul makalah ini, maka penulis akan membahas tentang perbandingan antara ontologi sains dan ontologi filsafat. Adapun jika nantinya ada penjelasan yang tidak sesuai, sebelumnya penulis memohon maaf.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify;"><b>B. Rumusan Masalah</b></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.25in;">Dari latar belakang di atas, muncul beberapa pertanyaan yang nantinya menjadi bahan dalam penjabaran makalah ini, yaitu :</div><ol start="1" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" type="1"><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Apa dan bagaimana ontologi sains itu ?</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Apa dan bagaimana ontologi filsafat itu ?</span></li>
</ol><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div align="center" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: center;"><b>BAB II</b></div><div style="text-align: center;"><b>PEMBAHASAN</b></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify;"><b>A. </b><b>Ontologi Sains</b><b> </b></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify;"><b>1. Hakikat Pengetahuan Sains</b></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Pengetahuan sains yang dimaksud adalah pengetahuan yang bersifat rasional – empiris. Masalah rasional dan empiris inilah yang akan dibahas.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><i>Pertama,</i> masalah rasional. Dalam sains, pernyataan atau hipotesis yang dibuat haruslah berdasarkan rasio. Misalnya hipotesis yang dibuat adalah “<i>makan telur ayam berpengaruh positif terhadap kesehatan”</i>. Hal ini berdasarkan rasio : untuk sehat diperlukan gizi, telur ayam banyak mengandung nilai gizi, karena itu, logis bila semakin banyak makan telur ayam akan semakin sehat.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Hipotesis ini belum diuji kebenarannya. Kebenarannya barulah dugaan. Tetapi hipotesis itu telah mencukupi syarat dari segi kerasionalannya. Kata “<i>rasional</i>” di sini menunjukkan adanya hubungan pengaruh atau hubungan sebab akibat.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><i>Kedua, </i>masalah empiris. Hipotesis yang dibuat tadi diuji (kebenarannya) mengikuti prosedur metode ilmiah. Untuk menguji hipotesis ini digunakan metode eksperimen. Misalnya pada contoh hipotesis di atas, pengujiannya adalah dengan cara mengambil satu kelompok sebagai sampel, yang diberi makan telur ayam secara teratur selama enam bulan, sebagai kelompok eksperimen. Demikian juga, mengambil satu kelompok yang lain, yang tidak boleh makan telur ayam selama enam bulan, sebagai kelompok kontrol. Setelah enam bulan, kesehatan kedua kelompok diamati. Hasilnya, kelompok yang teratur makan telur ayam rata-rata lebih sehat.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Setelah terbukti (sebaiknya eksperimen dilakukan berkali-kali), maka hipotesis yang dibuat tadi berubah menjadi teori. Teori <i>”makan telur ayam berpengaruh terhadap kesehatan</i>” adalah teori yang rasional – empiris. Teori seperti ini disebut sebagai teori ilmiah (<i>scientific theory</i>).</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Cara kerja dalam memperoleh teori tadi adalah cara kerja metode ilmiah. Rumus baku metode ilmiah adalah : <i>logico – hypotheticom – verificatif</i> (buktikan bahwa itu logis – tarik hipotesis – ajukan bukti empiris).</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Pada dasarnya cara kerja sains adalah kerja mencari hubungan sebab akibat, atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sains ialah tidak ada kejadian tanpa sebab. Asumsi ini benar bila sebab akibat itu memiliki hubungan rasional.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify;">Ilmu atau sains berisi teori. Teori itu pada dasarnya menerangkan hubungan sebab akibat. Sains tidak memberikan nilai baik atau buruk, halal atau haram, sopan atau tidak sopan, indah atau tidak indah; sains hanya memberikan nilai benar atau salah.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify;"><b>2. Struktur Sains</b></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.25in;">Ahmad Tafsir, membagi sains menjadi dua, yaitu sains kealaman dan sains sosial. Dalam makalah ini, hanya ditulis beberapa ilmu.</div><ol start="1" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" type="1"><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sains Kealaman</span></li>
</ol><ul style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" type="disc"><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Astronomi</span></i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Fisika</span></i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;"> : mekanika, bunyi, cahaya dan optik, fisika nuklir</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Kimia</span></i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;"> : kimia organik, kimia an organik, kimia teknik</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ilmu Bumi </span></i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">: paleontologi, geofisika, mineralogi, geografi</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ilmu Hayat </span></i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">: biofisika, botani, zoologi</span></li>
</ul><ol start="1" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" type="1"><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sains Sosial</span></li>
</ol><ul style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" type="disc"><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sosiologi </span></i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">: sosiologi pendidikan, sosiologi komunikasi</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Antropologi </span></i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">: antropologi budaya, antropologi politik, antropologi ekonomi</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Psikologi </span></i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">: psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Ekonomi </span></i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">: ekonomi makro, ekonomi lingkungan</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Politik </span></i><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">: politik dalam negeri, politik hukum, politik internasional</span></li>
</ul><div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><b><span lang="IN" style="font-size: 12pt; font-weight: normal; line-height: 150%;">1.<span style="font-size-adjust: none; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></b><b><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">B. Ontologi Filsafat</span></b><b><span lang="IN" style="font-size: 12pt; font-weight: normal; line-height: 150%;"></span></b></div><div class="MsoNormal" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify;"><b><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">1. Hakikat Pengetahuan Filsafat</span></b><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Poedjawijatna mendefinisikan filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan akal pikiran belaka, sedangkan Bakry mengatakan bahwa filsafat adalah sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Kedua definisi di atas menjelaskan satu hal yang penting bahwa filsafat adalah pengetahuan yang diperoleh dari berfikir, dan hasilnya berupa pemikiran (yang logis tetapi tidak empiris).</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify;"><b>2. Struktur Filsafat</b></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify;">Filsafat terdiri atas tiga cabang besar, yaitu : ontologi, epistemologi dan aksiologi.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.5in;">Ontologi mencakup banyak sekali filsafat, mungkin semua filsafat masuk di sini,misalnya : logika, metafisika, kosmologi, teologi, antropologi, etika, estetika, filsafat pendidikan, filsafat hukum, dan lain-lain. Epistemologi hanya mencakup satu bidang saja yang disebut Epistemologi, yang membicarakan cara memperoleh pengetahuan itu. Sedangkan aksiologi hanya mencakup satu cabang saja, yaitu Aksiologi, yang membicarakan guna pengetahuan filsafat. Ini pun berlaku bagi semua cabang filsafat. Inilah kerangka struktur filsafat.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify;"><b>C. Analisis Perbandingan Ontologi Sains dan Ontologi Filsafat</b></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: 0.25in;">Dari penjelasan tentang ontologi sains dan filsafat di atas, kita dapat membandingkan dan membedakan antara sains dan filsafat, yaitu :</div><ol start="1" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" type="1"><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sains merupakan ilmu yang bersifat rasional – empiris yakni teori yang dibuat sesuai logika dan kenyataan, sedangkan filsafat adalah ilmu yang hanya logis tapi tidak empiris, karena hanya berdasar pada pemikiran semata.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Karena sains adalah ilmu yang rasional empiris, maka struktur sains dibagi berdasarkan obyeknya, menjadi <i>sains kealaman</i> dan <i>sains sosial</i>. Sedangkan filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu secara mendalam hanya dengan menggunakan fikiran. Struktur filsafat dibagi menjadi : <i>ontologi</i> (membicarakan hakikat), <i>epistemologi</i> (cara memperoleh pengetahuan), dan <i>aksiologi</i> (membicarakan guna pengetahuan itu).</span><b> </b></li>
</ol><div align="center" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: center;"><br />
</div><div align="center" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: center;"><b>BAB III</b></div><div align="center" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: center;"><b>PENUTUP</b></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify;"><b>A. Kesimpulan </b></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify;">Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :</div><ol start="1" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" type="1"><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Pengetahuan sains adalah pengetahuan yang bersifat rasional empiris.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Struktur sains dibagi menjadi sains kealaman dan sains sosial</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">filsafat adalah pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu sedalam-dalamnya sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.<b> </b></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Filsafat terdiri atas tiga cabang besar, yaitu : ontologi, epistemologi dan aksiologi.<b> </b></span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sains merupakan ilmu yang bersifat rasional empiris yakni sesuai logika dan teori sesuai dengan kenyataan, sedangkan filsafat adalah ilmu yang hanya logis tapi tidak empiris.<b> </b></span></li>
</ol><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify;"><b>B. Saran</b></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; line-height: 150%; text-align: justify;">Adapun saran yang diberikan oleh penulis adalah :</div><ol start="1" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;" type="1"><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Untuk memperdalam pengetahuan tentang ontologi sains dan ontologi filsafat, disarankan untuk membaca buku-buku filsafat lain, terutama yang ada dalam referensi makalah ini.</span></li>
<li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;">Dalam mata kuliah Filsafat Ilmu, disarankan agar teman-teman melakukan diskusi, agar dapat menambah pengetahuan.</span></li>
</ol><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><br />
</div><div align="center" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: center;"><b>DAFTAR PUSTAKA</b></div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Agussalim, A.M., Drs.,M.Si.<i> Filsafat Ilmu Sebagai Metode Berpikir dan Ilmiah.</i> <i>UPT. Mata Kuliah Umum.</i> Universitas Negeri Makassar.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Bagus, Lorens. <i>Kamus Filsafat</i>. Jakarta : Gramedia, 2002</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Komaruddin, Prof. dan Dra. Yooke Tjurpamah, <i>Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah </i>Ed. 1 Cet. 2; Jakarta : Penerbit Bumi Aksara, 2002</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Tafsir, Ahmad<i>, </i>Prof. Dr. <i>Filsafat Ilmu</i>. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Prof. Komaruddin dan Dra. Yooke Tjurpamah, <i>Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah.</i> (Ed. Q Cet. 2, Jakarta : Penerbit Bumi Aksara, 2002). h. 169</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Lorens Bagus,<i> Kamus Filsafat</i> (Jakarta : Gramedia, 2002), h. 747</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">[Fred N. Kerlinger dalam Prof. Dr. Ahmad Tafsir,<i> Filsafat Ilmu</i> (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006), h. 24.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;">Prof. Dr. Ahmad Tafsir,<i> Filsafat Ilmu</i> (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006), h. 25.</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><i>Ibid,</i> h. 67</div><div style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif; text-align: justify;"><i>Ibid, </i>h. 69</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN" style="font-family: Georgia,"Times New Roman",serif;"><a href="http://meetabied.wordpress.com/2009/10/31/332/"><span lang="EN-US" style="font-size: 12pt; line-height: 150%;"><br />
</span></a></span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12pt; line-height: 150%;"></span></div>IQBHALGREBYhttp://www.blogger.com/profile/08185068851376913850noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6261997499589906792.post-9044358336083510772010-10-01T19:04:00.000-07:002010-10-01T19:04:21.100-07:00Psikologi Olahraga<!--[if gte mso 9]><xml> <w:WordDocument> <w:View>Normal</w:View> <w:Zoom>0</w:Zoom> <w:TrackMoves/> <w:TrackFormatting/> <w:PunctuationKerning/> <w:ValidateAgainstSchemas/> <w:SaveIfXMLInvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:IgnoreMixedContent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:AlwaysShowPlaceholderText>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:DoNotPromoteQF/> <w:LidThemeOther>EN-US</w:LidThemeOther> <w:LidThemeAsian>X-NONE</w:LidThemeAsian> <w:LidThemeComplexScript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript> <w:Compatibility> <w:BreakWrappedTables/> <w:SnapToGridInCell/> <w:WrapTextWithPunct/> <w:UseAsianBreakRules/> <w:DontGrowAutofit/> <w:SplitPgBreakAndParaMark/> <w:DontVertAlignCellWithSp/> <w:DontBreakConstrainedForcedTables/> <w:DontVertAlignInTxbx/> <w:Word11KerningPairs/> <w:CachedColBalance/> </w:Compatibility> <w:BrowserLevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> <m:mathPr> <m:mathFont m:val="Cambria Math"/> <m:brkBin m:val="before"/> <m:brkBinSub m:val="--> <m:smallfrac m:val="off"> <m:dispdef> <m:lmargin m:val="0"> <m:rmargin m:val="0"> <m:defjc m:val="centerGroup"> <m:wrapindent m:val="1440"> <m:intlim m:val="subSup"> <m:narylim m:val="undOvr"> </m:narylim></m:intlim> </m:wrapindent><!--[endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:LatentStyles DefLockedState="false" DefUnhideWhenUsed="true"
DefSemiHidden="true" DefQFormat="false" DefPriority="99"
LatentStyleCount="267"> <w:LsdException Locked="false" Priority="0" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Normal"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="heading 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 7"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 8"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="9" QFormat="true" Name="heading 9"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 7"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 8"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" Name="toc 9"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="35" QFormat="true" Name="caption"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="10" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Title"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="1" Name="Default Paragraph Font"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="11" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtitle"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="22" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Strong"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="20" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="59" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Table Grid"/> <w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Placeholder Text"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="1" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="No Spacing"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" UnhideWhenUsed="false" Name="Revision"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="34" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="List Paragraph"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="29" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Quote"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="30" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Quote"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 1"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 2"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 3"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 4"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 5"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="60" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Shading Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="61" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="62" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Light Grid Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="63" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="64" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Shading 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="65" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="66" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium List 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="67" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 1 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="68" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 2 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="69" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Medium Grid 3 Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="70" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Dark List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="71" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Shading Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="72" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful List Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="73" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" Name="Colorful Grid Accent 6"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="19" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="21" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Emphasis"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="31" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Subtle Reference"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="32" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Intense Reference"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="33" SemiHidden="false"
UnhideWhenUsed="false" QFormat="true" Name="Book Title"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="37" Name="Bibliography"/> <w:LsdException Locked="false" Priority="39" QFormat="true" Name="TOC Heading"/> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 10]> <style>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:"Table Normal";
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:"";
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:"Calibri","sans-serif";
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-fareast-font-family:"Times New Roman";
mso-fareast-theme-font:minor-fareast;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;}
</style> <![endif]--> </m:defjc></m:rmargin></m:lmargin></m:dispdef></m:smallfrac><br />
<div class="style1" style="text-align: justify;">Sekalipun Weinberg dan Gould (1995) memberikan pandangan yang hampir serupa atas psikologi olahraga dan psikologi latihan (exercise psychology), karena banyak kesamaan dalam pendekatannya, beberapa peneliti lain (Anshel, 1997; Seraganian, 1993; Willis & Campbell, 1992) secara lebih tegas membedakan psikologi olahraga dengan psikologi latihan. Weinberg dan Gould, (1995) mengemukakan bahwa psikologi olahraga dan psikologi latihan memiliki dua tujuan dasar:</div><div class="style1" style="text-align: justify;">Mempelajari bagaimana faktor psikologi mempengaruhi performance fisik individu<br />
memahami bagaimana partisipasi dalam olahraga dan latihan mempengaruhi perkembangan individu termasuk kesehatan dan kesejahteraan hidupnya </div><div class="style1" style="text-align: justify;">Di samping itu, mereka mengemukakan bahwa psikologi olahraga secara spesifik diarahkan untuk:<br />
membantu para professional dalam membantu atlet bintang mencapai prestasi puncak<br />
membantu anak-anak, penderita cacat dan orang tua untuk bisa hidup lebih bugar<br />
meneliti faktor psikologis dalam kegiatan latihan dan <br />
memanfaatkan kegiatan latihan sebagai alat terapi, misalnya untuk terapi depressi (Weinberg & Gould, 1995).</div><div class="style1" style="text-align: justify;">Sekalipun belum begitu jelas letak perbedaannya, Weiberg dan Gould (1995)telah berupaya untuk menjelaskan bahwa psikologi olahraga tidak sama dengan psikologi latihan. Namun dalam prakteknya biasanya memang terjadi saling mengisi, dan kaitan keduanya demikian eratnya sehingga menjadi sulit untuk dipisahkan. Tetapi Seraganian (1993) serta Willis dan Campbell (1992) secara lebih tegas mengemukakan bahwa secara tradisional penelitian dan praktik psikologi olahraga diarahkan pada hubungan psikofisiologis misalnya responsi somatik mempengaruhi kognisi, emosi dan performance. Sedangkan psikologi latihan diarahkan pada aspek kognitif, situasional dan psikofisiologis yang mempengaruhi perilaku pelakunya, bukan mengkaji performance olahraga seorang atlet. Adapun topik dalam psikologi latihan misalnya mencakup dampak aktivitas fisik terhadap emosi pelaku serta kecenderungan (disposisi) psikologi, alasan untuk ikut serta atau menghentikan kegiatan latihan olahraga, perubahan pribadi sebagai dampak perbaikan kondisi tubuh atas hasil latihan olahraga dan lain sebagainya (Anshel, 1997).</div><div class="style1" style="text-align: justify;">Jelaslah kini bahwa psikologi olahraga lebih diarahkan para kemampuan prestatif pelakunya yang bersifat kompetitif; artinya, pelaku olahraga, khususnya atlet, mengarahkan kegiatannya olahraganya untuk mencapai prestasi tertentu dalam berkompetisi, misalnya untuk menang. Sedangkan psikologi laithan lebih terarah pada upaya membahas masalah-masalah dampak aktivitas latihan olahraga terhadap kehidupan pribadi pelakunya. Dengan kata lain, psikologi olahraga lebih terarah pada aspek sosial dengan keberadaan lawan tanding, sedangkan psikologi latihan lebih terarah pada aspek individual dalam upaya memperbaiki kesejahteraan psikofisik pelakunya.</div><div class="style1" style="text-align: justify;">Sekalipun demikian, kedua bidang ini demikian sulit untuk dipisahkan, karena individu berada di dalam konteks sosial dan sosial terbentuk karena adanya individu-individu. Di samping itu kedua bidang ini melibatkan aspek psikofisik dengan aktivitas aktivitas yang serupa, dan mungkin hanya berbeda intensitasnya saja karena adanya faktor kompetisi dalam olahraga.</div><div class="style1" style="text-align: justify;"><strong>Sejarah Psikologi Olahraga di Indonesia</strong></div><div class="style1" style="text-align: justify;">Jadi, di satu pihak seorang praktisi psikolog yang memiliki ijin praktik belum tentu memiliki cukup pengetahuan ilmu keolahragaan, di lain pihak, pakar keolahragaan tidak dibekali pendidikan khusus psikoterapi dan konseling. Akibatnya, sampai saat ini masih terjadi kerancuan akan siapa sesungguhnya yang berhak memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Idealnya adalah seorang konsultan atau psikoterapis memperoleh pelatihan khusus dalam bidang keolahragaan; sehingga sebagai seorang praktisi ia tetap berada di atas landasan professinya dengan mengikuti panduan etika yang berlaku, dan di samping itu pengetahuan keolahragaannya juga cukup mendukung latar belakang pendidikan formalnya.</div><div class="style1" style="text-align: justify;">Dalam upaya mengatasi masalah ini IPO sebagai asosiasi psikologi olahraga nasional tengah berupaya menyusun ketentuan tugas dan tanggung jawab anggotanya. Di samping itu, IPO juga tengah berupaya menyusun kurikulum tambahan untuk program sertifikasi bagi para psikolog praktisi yang ingin memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Kurikulum tersebut merupakan bentuk spesialisasi psikologi olahraga yang meliputi: 1) Prinsip psikologi olahraga, 2) Peningkatan performance dalam olahraga, 3) Psikologi olahraga terapan, 4) Psikologi senam.</div><div class="style1" style="text-align: justify;">Masalah lain yang juga kerapkali timbul dalam penanganan aspek psikologi olahraga adalah dalam menentukan klien utama. Sebagai contoh misalnya pengguna jasa psikolog dapat seorang atlet, pelatih, atau pengurus. Kepada siapa psikolog harus memberikan pelayanan utama jika terjadi kesenjangan misalnya antara atlet dan pengurus, padahal psikolog dipekerjakan oleh pengurus untuk menangani atlet, dan atlet pada saat tersebut adalah pengguna jasa psikologi. Di satu pihak psikolog perlu menjaga kerahasiaan atlet, di lain pihak pengurus mungkin mendesak psikolog untuk menjabarkan kepribadian atlet secara terbuka demi kepentingan organisasi. Sachs (1993) menawarkan berbagai kemungkinan seperti misalnya menerapkan perjanjian tertulis untuk memberikan keterangan; namun demikian, jika atlet mengetahui bahwa pribadinya akan dijadikan bahan pertimbangan organisasi, ia mungkin cenderung akan berperilaku defensif, sehingga upaya untuk memperoleh informasi tentang dirinya akan mengalami kegagalan. Karenanya, seorang psikolog harus dapat bertindak secara bijaksana dalam menangani masalah ini, demikian pula, hendaknya seorang pelatih yang kerapkali bertindak selaku konsultan bagi atletnya kerap kali harus mampu melakukan pertimbangan untuk menghadapi masalah yang serupa.</div><div class="style1" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="style1" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="style1" style="text-align: justify;"><strong>Atlet, Pelatih, & Lingkungan</strong></div><div class="style1" style="text-align: justify;">Atlet, pelatih dan lingkungan merupakan tiga aspek yang berkaitan satu sama lain dalam membicarakan psikologi olahraga dan psikologi senam. Istilah atlet tidak terbatas pada individu yang berprofesi sebagai olahragawan, tetapi juga mencakup individu secara umum yang melakukan kegiatan olahraga. Pelatih harus dibedakan dari sekedar instruktur, karena pelatih tidak hanya mengajarkan atlet bagaimana melakukan gerakan-gerakan olahraga tertentu, tetapi juga mendidik atlet untuk memberikan respon yang tepat dalam bertingkah laku di dalam dan di luar gelanggang olahraga. Lingkungan tidak terbatas pada lingkungan fisik semata-mata tetapi juga lingkungan sosial masyarakat, termasuk di dalamnya lingkungan kehidupan tempat atlet tinggal.</div><div class="style1" style="text-align: justify;">Atlet, pelatih dan lingkungan adalah tiga aspek yang merupakan suatu kesatuan yang menentukan athletic performance. Istilah atlethic performance agak sulit untuk diterjemahkan karena merupakan suatu istilah spesifik yang tidak bisa disamakan artinya dengan misalnya perilaku atletik.</div><div class="style1" style="text-align: justify;"><strong>Atlet</strong></div><div class="style1" style="text-align: justify;">Seorang atlet adalah individu yang memiliki keunikan tersendiri. Ia memiliki bakat tersendiri, pola perilaku dan kepribadian tersendiri serta latar belakang kehidupan yang mempengaruhi secara spesifik pada dirinya. Sekalipun dalam beberapa cabang olahraga atlet harus melakukannya secara berkelompok atau beregu, pertimbangan bahwa seorang atlet sebagai individu yang unik perlu tetap dijadikan landasan pemikiran. Karena, misalnya di dalam olahraga beregu, kemampuan adaptif individu untuk melakukan kerjasama kelompok sangat menentukan perannya kelak di dalam kelompoknya. </div><div class="style1" style="text-align: justify;">Adalah sesuatui hal yang mustahil untuk menyamaratakan kemampuan atlet satu dengan lainnya, karena setiap individu memiliki bakat masing-masing. Bakat yang dimiliki atlet secara individual ini lah yang sesungguhnya layak untuk memperoleh perhatian secara khusus agar ia dapat memanfaatkan potensi-potensinya yang ada secara maksimum. </div><div class="style1" style="text-align: justify;">Namun demikian, keunikan individu seorang atlet seringkali disalahartikan sebagai perilaku menyimpang (Anshel, 1997). Sebagai contoh petenis John McEnroe menggunakan perilaku marahnya untuk membangkitkan semangatnya. Namun bagi mereka yang tidak memahami hal ini menganggap McEnroe memiliki kecenderungan pemarah. Masalahnya adalah mungkin perilaku marahnya dapat mengganggu lawan tandingnya sehingga hal ini dirasakan sebagai sesuatu yang kurang sportif untuk menjatuhkan mental lawan tandingnya. Demikian pula Monica Seles sering ditegur karena lenguhannya yang keras pada saat memukul bola, namun sesungguhnya hal ini merupakan keunikan perilakunya, dan karena tidak adanya aturan khusus untuk melarang hal tersebut, sebenarnya memang Seles tidak melakukan pelanggaran apapun. Adalah juga keliru menganggap bahwa setiap atlet membutuhkan masukan dari pelatihnya pada saat menjelang pertandingan. Karena ada atlet-atlet yang lebih cendeung memilih untuk berada sendiri daripada ditemani oleh orang lain. Jadi, setiap atlet memiliki ciri khas masing-masing, dan tidak bisa dilakukan penyamarataan dalam melakukan pendekatan terhadap atlet. Hal-hal seperti inilah yang perlu difahami oleh para pembina dalam membina para atletnya. Karena justru keunikan merekalah yang membuat mereka mampu berprestasi puncak. Sedangkan mereka yang tergolong "normal" memang hanya memiliki prestasi normal-normal (biasa-biasa) saja. </div><div class="style1" style="text-align: justify;"><strong>Pelatih</strong></div><span lang="IN" style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 11pt; line-height: 115%;">Pelatih, seperti telah disinggung di atas, bukan sekedar instruktur olahraga yang memberitahukan atlet cara-cara untuk melakukan gerakan tertentu dala olahraga. Pelatih juga merupakan tokoh panutan, guru, pembimbing, pendidik, pemimpin, bahkan tak jarang menjadi tokoh model bagi atletnya. Pelatih sendiri juga mungkin meniru gaya pelatih lain atau pelatih senior yang melatih dirinya. Ada pepatah asing yang mengatakan "monkey see, monkey do", artinya apa yang dilihat, itulah yang dikerjakan.</span>IQBHALGREBYhttp://www.blogger.com/profile/08185068851376913850noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6261997499589906792.post-9673071718558091702010-09-21T19:34:00.000-07:002010-09-21T19:34:55.883-07:00Azas Falsafah Penjas<span>DAFTAR ISI</span> <br />
<div style="text-align: justify;"><a href="http://www.ditplb.or.id/profile.php?id=65#pendahuluan"><span>BAB I PENDAHULUAN</span></a><br />
A. Kedudukan dan Makna Pendidikan<br />
B. Hakikat Pendidikan Jasmani<span> </span><span><br />
C. Tujuan Pendidikan Jasmani</span><span> </span><span><br />
D. Gerak Sebagai Kebutuhan Anak</span><span> </span><span><br />
E. Pentingnya Pendidikan Jasmani</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span><a href="http://www.ditplb.or.id/profile.php?id=65#konsep_penjas"><span>BAB II KONSEP DAN FALSAFAH PENJAS</span></a><br />
A. Pengertian Pendidikan Jasmani</span><span> </span><span><br />
B. Perbedaan Makna Pendidikan Jasmani dan Pendidikan Olahraga</span><span> </span><span><br />
C. Dasar Falsafah Pendidikan Jasmani</span><span> </span><span><br />
D. Landasan Ilmiah Pelaksanaan Pendidikan Jasmani</span><span> </span></div><div style="text-align: justify;"><a href="http://www.ditplb.or.id/profile.php?id=66"><span>BAB III ASAS PENGEMBANGAN PENJAS DI SDLB/SLB TINGKAT DASAR</span></a><br />
A. Asas Pengembangan dan Penetapan Sasaran Pendidikan Jasmani<span> </span><span><br />
B. Model Orientasi Kurikulum dalam Pendidikan Jasmani</span><span> </span><span><br />
C. Ruang Lingkup Pendidikan Jasmani</span><span> </span><span><br />
D. Arah Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Jasmani</span><span> </span><span><br />
E. Arah Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Jasmani bagi Anak Luar Biasa .</span><span> </span></div><div style="text-align: justify;">DAFTAR PUSTAKA</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span> <hr size="2" /></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><a href="" name="pendahuluan"></a></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>A. Kedudukan Dan Makna Pendidikan Jasmani</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Bangsa kita sedang dihadapkan pada kondisi centang perenang. Krisis multimuka yang datang menyusul terjadinya krisis ekonomi dan krisis moneter yang memukul bangsa kita di titik akhir milenium kedua, hingga kini masih membekaskan luka dalam bagi sebagian besar masyarakat kita. Luka itu terasa lebih pedih dan lama bagi bangsa kita, di tengah kondisi dunia yang sedang dihadapkan pada krisis perebutan kekuasaan politik dunia, dengan nuansa kental perebutan kekuatan ekonomi dan teknologi di sebagian besar dunia maju.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Kemampuan ekonomi bangsa Indonesia telah terlempar pada keadaan tak terkendali, menghasilkan persoalan-persoalan seperti pemangkasan anggaran, harga barang yang membubung, kesulitan dan konflik penduduk kota, rangkaian pengangguran, hingga defisit pemerintah yang semakin menggunung.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Jika negara maju lainnya sudah mengambil langkah-langkah pasti terhadap persoalan global yang menantang tersebut, Indonesia tetap berada dalam kondisi lesu. Bagi negara lain, misalnya, keterbatasan sumber energi yang berbasis pada penggunaan minyak bumi telah diantisipasi dengan jalan memproduksi alat transportasi dan pengoperasian pabrik-pabrik yang akrab lingkungan dan hemat energi. Perhatian terhadap lingkungan telah mengarah pada upaya pengimplementasian alat-alat dan aturan yang membatasi toleransi kebisingan suara, radiasi, dan polusi serta perusakan tanah, hutan dan sungai. Penekanan asas akuntabilitas telah mendorong para pembayar pajak untuk mengetahui kemana saja uang mereka dihabiskan. Ancaman perpecahan antar etnis dan konflik bangsa-bangsa mengarah pada diberdayakannya pendidikan dalam semua jenjang dan mata pelajaran sebagai alat untuk menumbuhkan saling pengertian dan cinta damai pada para siswa dan masyarakatnya. Ini semua berbeda tajam dengan apa yang tengah terjadi di negara kita.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Tidak cukup dengan itu, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sudah mencapai tahap yang sangat maju, telah pula menghadapkan bangsa kita, terutama para remaja dan anak-anak, pada gaya hidup yang semakin menjauh dari semangat perkembangan total, karena lebih mengutamakan keunggulan kecerdasan intelektual, sambil mengorbankan kepentingan keunggulan fisik dan moral individu. Budaya hidup sedenter (kurang gerak) karenanya semakin kuat menggejala di kalangan anak-anak dan remaja, berkombinasi dengan semakin hilangnya ruang-ruang publik dan tugas kehidupan yang memerlukan upaya fisik yang keras. Segalanya menjadi mudah, demikian pernyataan para ahli, sehingga lambat laun kemampuan fisik manusia sudah tidak diperlukan lagi. Dikhawatirkan, secara evolutif manusia akan berubah bentuk fisiknya, mengarah pada bentuk yang tidak bisa kita bayangkan, karena banyak anggota tubuh kita, dari mulai kaki dan lengan sudah dipandang tidak berfungsi lagi.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dalam kondisi demikian, patutlah kita mempertanyakan kembali peranan dan fungsi pendidikan, khususnya pendidikan jasmani: apakah peranan yang bisa dimainkan oleh program pendidikan jasmani dalam kondisi dunia dan bangsa yang semakin dihadapkan pada kuatnya potensi konflik tersebut? Apa peranan pendidikan jasmani dalam mempersiapkan para pewaris bangsa ini untuk mampu bersaing secara sehat dalam persaingan global sekarang dan kelak? Apa pula peranan pendidikan jasmani dan olahraga dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya evolusi kehidupan manusia yang cenderung tidak lagi memerlukan perangkat fisik yang utuh untuk menjalankan tugasnya sehari-hari?</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Buku ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar di atas, serta menawarkan satu alternatif dalam memandang peranan dan fungsi Pendidikan Jasmani yang seharusnya dilaksanakan di sekolah-sekolah, termasuk di sekolah luar Biasa (SLB).</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>B. Hakikat Pendidikan Jasmani</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu, baik dalam hal fisik, mental, serta emosional. Pendidikan jasmani memperlakukan anak sebagai sebuah kesatuan utuh, mahluk total, daripada hanya menganggapnya sebagai seseorang yang terpisah kualitas fisik dan mentalnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pada kenyataannya, pendidikan jasmani adalah suatu bidang kajian yang sungguh luas. Titik perhatiannya adalah peningkatan gerak manusia. Lebih khusus lagi, penjas berkaitan dengan hubungan antara gerak manusia dan wilayah pendidikan lainnya: hubungan dari perkembangan tubuh-fisik dengan pikiran dan jiwanya. Fokusnya pada pengaruh perkembangan fisik terhadap wilayah pertumbuhan dan perkembangan aspek lain dari manusia itulah yang menjadikannya unik. Tidak ada bidang tunggal lainnya seperti pendidikan jasmani yang berkepentingan dengan perkembangan total manusia.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Per definisi, pendidikan jasmani diartikan dengan berbagai ungkapan dan kalimat. Namun esensinya sama, yang jika disimpulkan bermakna jelas, bahwa pendidikan jasmani memanfaatkan alat fisik untuk mengembangan keutuhan manusia. Dalam kaitan ini diartikan bahwa melalui fisik, aspek mental dan emosional pun turut terkembangkan, bahkan dengan penekanan yang cukup dalam. Berbeda dengan bidang lain, misalnya pendidikan moral, yang penekanannya benar-benar pada perkembangan moral, tetapi aspek fisik tidak turut terkembangkan, baik langsung maupun secara tidak langsung.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Karena hasil-hasil kependidikan dari pendidikan jasmani tidak hanya terbatas pada manfaat penyempurnaan fisik atau tubuh semata, definisi penjas tidak hanya menunjuk pada pengertian tradisional dari aktivitas fisik. Kita harus melihat istilah pendidikan jasmani pada bidang yang lebih luas dan lebih abstrak, sebagai satu proses pembentukan kualitas pikiran dan juga tubuh.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Sungguh, pendidikan jasmani ini karenanya harus menyebabkan perbaikan dalam ‘pikiran dan tubuh’ yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan harian seseorang. Pendekatan holistik tubuh-jiwa ini termasuk pula penekanan pada ketiga domain kependidikan: psikomotor, kognitif, dan afektif. Dengan meminjam ungkapan Robert Gensemer, penjas diistilahkan sebagai proses menciptakan “tubuh yang baik bagi tempat pikiran atau jiwa.” Artinya, dalam tubuh yang baik ‘diharapkan’ pula terdapat jiwa yang sehat, sejalan dengan pepatah Romawi Kuno: Men sana in corporesano.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><em><span>Kesatuan Jiwa dan Raga</span></em></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Salah satu pertanyaan sulit di sepanjang jaman adalah pemisahan antara jiwa dan raga atau tubuh. Kepercayaan umum menyatakan bahwa jiwa dan raga terpisah, dengan penekanan berlebihan pada satu sisi tertentu, disebut dualisme, yang mengarah pada penghormatan lebih pada jiwa, dan menempatkan kegiatan fisik secara lebih inferior.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pandangan yang berbeda lahir dari filsafat monisme, yaitu suatu kepercayaan yang memenangkan kesatuan tubuh dan jiwa. Kita bisa melacak pandangan ini dari pandangan Athena Kuno, dengan konsepnya “jiwa yang baik di dalam raga yang baik.” Moto tersebut sering dipertimbangkan sebagai pernyataan ideal dari tujuan pendidikan jasmani tradisional: aktivitas fisik mengembangkan seluruh aspek dari tubuh; yaitu jiwa, tubuh, dan spirit. Tepatlah ungkapan Zeigler bahwa fokus dari bidang pendidikan jasmani adalah aktivitas fisik yang mengembangkan, bukan semata-mata aktivitas fisik itu sendiri. Selalu terdapat tujuan pengembangan manusia dalam program pendidikan jasmani.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Akan tetapi, pertanyaan nyata yang harus dikedepankan di sini bukanlah ‘apakah kita percaya terhadap konsep holistik tentang pendidikan jasmani, tetapi, apakah konsep tersebut saat ini bersifat dominan dalam masyarakat kita atau di antara pengemban tugas penjas sendiri?</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dalam masyarakat sendiri, konsep dan kepercayaan terhadap pandangan dualisme di atas masih kuat berlaku. Bahkan termasuk juga pada sebagian besar guru penjas sendiri, barangkali pandangan demikian masih kuat mengakar, entah akibat dari kurangnya pemahaman terhadap falsafah penjas sendiri, maupun karena kuatnya kepercayaan itu. Yang pasti, masih banyak guru penjas yang sangat jauh dari menyadari terhadap peranan dan fungsi pendidikan jasmani di sekolah-sekolah, sehingga proses pembelajaran penjas di sekolahnya masih lebih banyak ditekankan pada program yang berat sebelah pada aspek fisik semata-mata. Bahkan, dalam kasus Indonesia, penekanan yang berat itu masih dipandang labih baik, karena ironisnya, justru program pendidikan jasmani di kita malahan tidak ditekankan ke mana-mana. Itu karena pandangan yang sudah lebih parah, yang memandang bahwa program penjas dipandang tidak penting sama sekali.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Nilai-nilai yang dikandung penjas untuk mengembangkan manusia utuh menyeluruh, sungguh masih jauh dari kesadaran dan pengakuan masyarakat kita. Ini bersumber dan disebabkan oleh kenyataan pelaksanaan praktik penjas di lapangan. Teramat banyak kasus atau contoh di mana orang menolak manfaat atau nilai positif dari penjas dengan menunjuk pada kurang bernilai dan tidak seimbangnya program pendidikan jasmani di lapangan seperti yang dapat mereka lihat. Perbedaan atau kesenjangan antara apa yang kita percayai dan apa yang kita praktikkan (gap antara teori dan praktek) adalah sebuah duri dalam bidang pendidikan jasmani kita.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><em><span>Hubungan Pendidikan Jasmani dengan Bermain dan Olahraga</span></em></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dalam memahami arti pendidikan jasmani, kita harus juga mempertimbangkan hubungan antara bermain (play) dan olahraga (sport), sebagai istilah yang lebih dahulu populer dan lebih sering digunakan dalam konteks kegiatan sehari-hari. Pemahaman tersebut akan membantu para guru atau masyarakat dalam memahami peranan dan fungsi pendidikan jasmani secara lebih konseptual.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><em><span>Bermain</span></em></strong><span> </span><span>pada intinya adalah aktivitas yang digunakan sebagai hiburan. Kita mengartikan bermain sebagai hiburan yang bersifat fisikal yang tidak kompetitif, meskipun bermain tidak harus selalu bersifat fisik. Bermain bukanlah berarti olahraga dan pendidikan jasmani, meskipun elemen dari bermain dapat ditemukan di dalam keduanya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><em><span>Olahraga</span></em></strong><span> </span><span>di pihak lain adalah suatu bentuk bermain yang terorganisir dan bersifat kompetitif. Beberapa ahli memandang bahwa olahraga semata-mata suatu bentuk permainan yang terorganisasi, yang menempatkannya lebih dekat kepada istilah pendidikan jasmani. Akan tetapi, pengujian yang lebih cermat menunjukkan bahwa secara tradisional, olahraga melibatkan aktivitas kompetitif.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Ketika kita menunjuk pada olahraga sebagai aktivitas kompetitif yang terorganisir, kita mengartikannya bahwa aktivitas itu sudah disempurnakan dan diformalkan hingga kadar tertentu, sehingga memiliki beberapa bentuk dan proses tetap yang terlibat. Peraturan, misalnya, baik tertulis maupun tak tertulis, digunakan atau dipakai dalam aktivitas tersebut, dan aturan atau prosedur tersebut tidak dapat diubah selama kegiatan berlangsung, kecuali atas kesepakatan semua pihak yang terlibat.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Di atas semua pengertian itu, olahraga adalah aktivitas kompetitif. Kita tidak dapat mengartikan olahraga tanpa memikirkan kompetisi, sehingga tanpa kompetisi itu, olahraga berubah menjadi semata-mata bermain atau rekreasi. Bermain, karenanya pada satu saat menjadi olahraga, tetapi sebaliknya, olahraga tidak pernah hanya semata-mata bermain; karena aspek kompetitif teramat penting dalam hakikatnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Di pihak lain, pendidikan jasmani mengandung elemen baik dari bermain maupun dari olahraga, tetapi tidak berarti hanya salah satu saja, atau tidak juga harus selalu seimbang di antara keduanya. Sebagaimana dimengerti dari kata-katanya, pendidikan jasmani adalah aktivitas jasmani yang memiliki tujuan kependidikan tertentu. Pendidikan Jasmani bersifat fisik dalam aktivitasnya dan penjas dilaksanakan untuk mendidik. Hal itu tidak bisa berlaku bagi bermain dan olahraga, meskipun keduanya selalu digunakan dalam proses kependidikan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Bermain, olahraga dan pendidikan jasmani melibatkan bentuk-bentuk gerakan, dan ketiganya dapat melumat secara pas dalam konteks pendidikan jika digunakan untuk tujuan-tujuan kependidikan. Bermain dapat membuat rileks dan menghibur tanpa adanya tujuan pendidikan, seperti juga olahraga tetap eksis tanpa ada tujuan kependidikan. Misalnya, olahraga profesional (di Amerika umumnya disebut athletics) dianggap tidak punya misi kependidikan apa-apa, tetapi tetap disebut sebagai olahraga. Olahraga dan bermain dapat eksis meskipun secara murni untuk kepentingan kesenangan, untuk kepentingan pendidikan, atau untuk kombinasi keduanya. Kesenangan dan pendidikan tidak harus dipisahkan secara eksklusif; keduanya dapat dan harus beriringan bersama.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><em><span>Lalu bagaimana dengan rekreasi dan dansa (dance)?</span></em></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Para ahli memandang bahwa rekreasi adalah aktivitas untuk mengisi waktu senggang. Akan tetapi, rekreasi dapat pula memenuhi salah satu definisi “penggunaan berharga dari waktu luang.” Dalam pandangan itu, aktivitas diseleksi oleh individu sebagai fungsi memperbaharui ulang kondisi fisik dan jiwa, sehingga tidak berarti hanya membuang-buang waktu atau membunuh waktu. Rekreasi adalah aktivitas yang menyehatkan pada aspek fisik, mental dan sosial. Jay B. Nash menggambarkan bahwa rekreasi adalah pelengkap dari kerja, dan karenanya merupakan kebutuhan semua orang.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dengan demikian, penekanan dari rekreasi adalah dalam nuansa “mencipta kembali” (re-creation) orang tersebut, upaya revitalisasi tubuh dan jiwa yang terwujud karena ‘menjauh’ dari aktivitas rutin dan kondisi yang menekan dalam kehidupan sehari-hari. Landasan kependidikan dari rekreasi karenanya kini diangkat kembali, sehingga sering diistilahkan dengan pendidikan rekreasi, yang tujuan utamanya adalah mendidik orang dalam bagaimana memanfaatkan waktu senggang mereka.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Sedangkan dansa adalah aktivitas gerak ritmis yang biasanya dilakukan dengan iringan musik, kadang dipandang sebagai sebuah alat ungkap atau ekspresi dari suatu lingkup budaya tertentu, yang pada perkembangannya digunakan untuk hiburan dan memperoleh kesenangan, di samping sebagai alat untuk menjalin komunikasi dan pergaulan, di samping sebagai kegiatan yang menyehatkan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Di Amerika, dansa menjadi bagian dari program pendidikan jasmani, karena dipandang sebagai alat untuk membina perbendaharaan dan pengalaman gerak anak, di samping untuk meningkatkan kebugaran jasmani serta pewarisan nilai-nilai. Meskipun menjadi bagian penjas, dansa sendiri masih dianggap sebagai cabang dari seni. Kemungkinan bahwa dansa digunakan dalam penjas terutama karena hasilnya yang mampu mengembangkan orientasi gerak tubuh. Bahkan ditengarai bahwa aspek seni dari dansa dipandang mampu mengurangi kecenderungan penjas agar tidak terlalu berorientasi kompetitif dengan memasukkan unsur estetikanya. Jadi sifatnya untuk melengkapi fungsi dan peranan penjas dalam membentuk manusia yang utuh seperti diungkap di bagian-bagian awal naskah ini.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>C. Tujuan Pendidikan Jasmani</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Apakah sebenarnya tujuan pendidikan jasmani? Menjawab pertanyaan demikian, banyak guru yang masih berbeda pendapat. Ada yang menjawab bahwa tujuannya adalah untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam berolahraga. Ada pula yang berpendapat, tujuannya adalah meningkatkan taraf kesehatan anak yang baik, dan tidak bisa disangkal pula pasti ada yang mengatakan, bahwa tujuan pendidikan jasmani adalah untuk meningkatkan kebugaran jasmani. Kesemua jawaban di atas benar belaka. Hanya saja barangkali bisa dikatakan kurang lengkap, sebab yang paling penting dari kesemuanya itu tujuannya bersifat menyeluruh.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Secara sederhana, pendidikan jasmani memberikan kesempatan kepada siswa untuk:</span></div><ul style="text-align: justify;" type="disc"><li class="MsoNormal"><span>Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan aktivitas jasmani, perkembangan estetika, dan perkembangan sosial.</span></li>
<li class="MsoNormal"><span>Mengembangkan kepercayaan diri dan kemampuan untuk menguasai keterampilan gerak dasar yang akan mendorong partisipasinya dalam aneka aktivitas jasmani.</span></li>
<li class="MsoNormal"><span>Memperoleh dan mempertahankan derajat kebugaran jasmani yang optimal untuk melaksanakan tugas sehari-hari secara efisien dan terkendali.</span></li>
<li class="MsoNormal"><span>Mengembangkan nilai-nilai pribadi melalui partisipasi dalam aktivitas jasmani baik secara kelompok maupun perorangan.</span></li>
<li class="MsoNormal"><span>Berpartisipasi dalam aktivitas jasmani yang dapat mengembangkan keterampilan sosial yang memungkinkan siswa berfungsi secara efektif dalam hubungan antar orang.</span></li>
<li class="MsoNormal"><span>Menikmati kesenangan dan keriangan melalui aktivitas jasmani, termasuk permainan olahraga.</span></li>
</ul><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Diringkaskan dalam terminologi yang populer, maka tujuan pembelajaran pendidikan jasmani itu harus mencakup tujuan dalam domain psikomotorik, domain kognitif, dan tak kalah pentingnya dalam domain afektif.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pengembangan</span><span> </span><em><span>domain psikomotorik</span></em><span> </span><span>secara umum dapat diarahkan pada dua tujuan utama, pertama mencapai perkembangan aspek kebugaran jasmani, dan kedua, mencapai perkembangan aspek perseptual motorik. Ini menegaskan bahwa pembelajaran pendidikan jasmani harus melibatkan aktivitas fisik yang mampu merangsang kemampuan kebugaran jasmani serta sekaligus bersifat pembentukan penguasaan gerak keterampilan itu sendiri.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Kebugaran jasmani merupakan aspek penting dari domain psikomotorik, yang bertumpu pada perkembangan kemampuan biologis organ tubuh. Konsentrasinya lebih banyak pada persoalan peningkatan efisiensi fungsi faal tubuh dengan segala aspeknya sebagai sebuah sistem (misalnya sistem peredaran darah, sistem pernapasan, sistem metabolisme, dll.)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dalam pengertian yang lebih resmi, sering dibedakan konsep kebugaran jasmani ini dengan konsep kebugaran motorik. Keduanya dibedakan dalam hal: kebugaran jasmani menunjuk pada aspek kualitas tubuh dan organ-organnya, seperti kekuatan (otot), daya tahan (jantung-paru), kelentukan (otot dan persendian); sedangkan kebugaran motorik menekankan aspek penampilan yang melibatkan kualitas gerak sendiri seperti kecepatan, kelincahan, koordinasi, power, keseimbangan, dll. Namun dalam naskah ini, penulis akan menggunakan konsep kebugaran jasmani tersebut untuk menunjuk pada keseluruhan aspek di atas.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pengembangan keterampilan gerak merujuk pada proses penguasaan suatu keterampilan atau tugas gerak yang melibatkan proses mempersepsi rangsangan dari luar, kemudian rangsangan itu diolah dan diprogramkan sampai terjadinya respons berupa tindakan yang sesuai dengan rangsangan itu.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Penekanan proses pembelajarannya lebih banyak ditujukan pada proses perangsangan yang bervariasi, sehingga setiap kali anak selalu mengerahkan kemampuannya dalam mengolah informasi, ketika akan menghasilkan gerak. Dengan cara itu, kepekaan sistem saraf anak semakin dikembangkan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Domain kognitif mencakup pengetahuan tentang fakta, konsep, dan lebih penting lagi adalah penalaran dan kemampuan memecahkan masalah. Aspek kognitif dalam pendidikan jasmani, tidak saja menyangkut penguasaan pengetahuan faktual semata-mata, tetapi meliputi pula pemahaman terhadap gejala gerak dan prinsipnya, termasuk yang berkaitan dengan landasan ilmiah pendidikan jasmani dan olahraga serta manfaat pengisian waktu luang.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Domain afektif mencakup sifat-sifat psikologis yang menjadi unsur kepribadian yang kukuh. Tidak hanya tentang sikap sebagai kesiapan berbuat yang perlu dikembangkan, tetapi yang lebih penting adalah konsep diri dan komponen kepribadian lainnya, seperti intelegensia emosional dan watak. Konsep diri menyangkut persepsi diri atau penilaian seseorang tentang kelebihannya. Konsep diri merupakan fondasi kepribadian anak dan sangat diyakini ada kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan mereka setelah dewasa kelak.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Intelegensia emosional mencakup beberapa sifat penting, yakni pengendalian diri, kemampuan memotivasi diri, ketekunan, dan kemampuan untuk berempati. Pengendalian diri merupakan kualitas pribadi yang mampu menyelaraskan pertimbangan akal dan emosi yang menjadi sifat penting dalam kehidupan sosial dan pencapaiannya untuk sukses hidup di masyarakat. Demikian juga dengan ketekunan; tidak ada pekerjaan yang dapat dicapai dengan baik tanpa ada ketekunan. Ini juga berlaku sama dengan kemampuan memotivasi diri, kemandirian untuk tidak selalu diawasi dalam menyelesaikan tugas apapun.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Di lain pihak, kemampuan berempati merupakan kualitas pribadi yang mampu menempatkan diri di pihak orang lain, dengan mencoba mengetahui perasaan oran lain. Karena itu pula empati disebut juga sebagai kecerdasan hubungan sosial. “Cubitlah diri kamu sendiri, sebelum mencubit orang lain. Niscaya kamu akan mengetahui, apa yang boleh dan tidak boleh kamu lakukan pada orang lain,” merupakan kearifan leluhur, yang jika diperas maknanya, tidak lain adalah penekanan kemampuan berempati.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>D. Gerak Sebagai Kebutuhan Anak</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dunia anak-anak adalah dunia yang segar, baru, dan senantiasa indah, dipenuhi keajaiban dan keriangan. Demikian Rachel Carson dalam sebuah ungkapannya. Namun demikian, menurut Carson, adalah kemalangan bagi kebanyakan kita bahwa dunia yang cemerlang itu terenggut muram dan bahkan hilang sebelum kita dewasa.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dunia anak-anak memang menakjubkan, mengandung aneka ragam pengalaman yang mencengangkan, dilengkapi berbagai kesempatan untuk memperoleh pembinaan . Bila guru masuk ke dalam dunia itu, ia dapat membantu anak-anak untuk mengembangkan pengetahuannya, mengasah kepekaan rasa hatinya serta memperkaya keterampilannya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Bermain adalah dunia anak. Sambil bermain mereka belajar. Dalam hal belajar, anak-anak adalah ahlinya. Segala macam dipelajarinya, dari menggerakkan anggota tubuhnya hingga mengenali berbagai benda di lingkungan sekitarnya. Bayangkan keceriaan yang didapatnya ketika ia menyadari baru saja menambah pengetahuan dan keterampilan. “Lihat, saya sudah bisa “ teriaknya kepada semua orang.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Belajar dan keceriaan merupakan dua hal penting dalam masa kanak-kanak. Hal ini termasuk upaya mempelajari tubuhnya sendiri dan berbagai kemungkinan geraknya. Gerak adalah rangsangan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Kian banyak ia bergerak, kian banyak hal yang ditemui dan dijelajahi. Kian baik pula kualitas pertumbuhannya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Perhatikan tiga kata kunci di atas:</span><span> </span><strong><em><span>gerak, gembira</span></em></strong><span>, dan</span><span> </span><strong><em><span>belajar</span></em></strong><span>. Anak-anak suka bergerak dan suka belajar. Perhatikan bagaimana anak-anak bermain di lapangan. Di sana akan tampak, mereka bergerak dengan keterlibatan yang total dan dipenuhi kegembiraan. Bagi anak, gerak semata-mata untuk kesenangan, bukan di dorong oleh maksud dan tujuan tertentu. Gerak adalah kebutuhan mutlak anak-anak.<br />
Sayangnya, ketika usianya semakin meningkat, aktivitas anak-anak semakin berkurang. Ketika memasuki usia sekolah, ia belajar dengan cara yang berbeda. Mereka lebih banyak diminta duduk tenang untuk mendengarkan penjelasan guru tentang berbagai hal. Lingkungan belajar pun semakin sempit, dibatasi oleh empat sisi dinding kelas yang membelenggu. Karena dipaksa untuk diam, dan mendengarkan orang lain berbicara, belajar tidak lagi menarik bagi anak. Keceriaan mereka terampas dan hilanglah sebagian “keajaiban” dunia anak-anak mereka. Tidak heran bila anak merasa bahwa belajar ternyata kegiatan yang tidak menyenangkan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>E. Pentingnya Pendidikan Jasmani</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Beban belajar di sekolah begitu berat dan menekan kebebasan anak untuk bergerak. Kebutuhan mereka akan gerak tidak bisa terpenuhi karena keterbatasan waktu dan kesempatan. Lingkungan sekolah tidak menyediakan wilayah yang menarik untuk dijelajahi. Penyelenggara pendidikan di sekolah yang lebih mengutamakan prestasi akademis, memberikan anak tugas-tugas belajar yang menumpuk.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Kehidupan sekolah yang demikian berkombinasi pula dengan kehidupan di rumah dan lingkungan luar sekolah. Jika di sekolah anak kurang bergerak, di rumah keadaannya juga demikian. Kemajuan teknologi yang dicapai pada saat ini, malah mengungkung anak-anak dalam lingkungan kurang gerak. Anak semakin asyik dengan kesenangannya seperti menonton TV atau bermain video game. Tidak mengherankan bila ada kerisauan bahwa kebugaran anak-anak semakin menurun.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dengan semakin rendahnya kebugaran jasmani, kian meningkat pula gejala penyakit hipokinetik (kurang gerak). Kegemukan, tekanan darah tinggi, kencing manis, nyeri pinggang bagian bawah, adalah contoh dari penyakit kurang gerak . Akibatnya penyakit jantung tidak lagi menjadi monopoli orang dewasa, tetapi juga sudah menyerang anak-anak.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Sejalan dengan itu, pengetahuan dan kebiasaan makan yang buruk pun semakin memperparah masalah kesehatan yang mengancam kesejahteraan masyarakat. Dengan pola gizi yang berlebihan, para ‘pemalas gerak’ itu akan menimbun lemak dalam tubuhnya secara berlebihan. Mereka menghadapkan diri mereka sendiri pada resiko penyakit degenaratif (menurunnya fungsi organ) yang semakin besar.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan Jasmani tampil untuk mengatasi masalah tersebut sehingga kedudukannya dianggap penting. Melalui program yang direncanakan secara baik, anak-anak dilibatkan dalam kegiatan fisik yang tinggi intensitasnya. Pendidikan Jasmani juga tetap menyediakan ruang untuk belajar menjelajahi lingkungan yang ada di sekitarnya dengan banyak mencoba, sehingga kegiatannya tetap sesuai dengan minat anak. Lewat pendidikan jasmanilah anak-anak menemukan saluran yang tepat untuk bergerak bebas dan meraih kembali keceriaannya, sambil terangsang perkembangan yang bersifat menyeluruh.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Secara umum, manfaat pendidikan jasmani di sekolah mencakup sebagai berikut:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span>1. Memenuhi kebutuhan anak akan gerak</span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani memang merupakan dunia anak-anak dan sesuai dengan kebutuhan anak-anak. Di dalamnya anak-anak dapat belajar sambil bergembira melalui penyaluran hasratnya untuk bergerak. Semakin terpenuhi kebutuhan akan gerak dalam masa-masa pertumbuhannya, kian besar kemaslahatannya bagi kualitas pertumbuhan itu sendiri.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span>2.</span></em><em><span> </span></em><em><span>Mengenalkan anak pada lingkungan dan potensi dirinya</span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani adalah waktu untuk ‘berbuat’. Anak-anak akan lebih memilih untuk ‘berbuat’ sesuatu dari pada hanya harus melihat atau mendengarkan orang lain ketika mereka sedang belajar. Suasana kebebasan yang ditawarkan di lapangan atau gedung olahraga sirna karena sekian lama terkurung di antara batas-batas ruang kelas. Keadaan ini benar-benar tidak sesuai dengan dorongan nalurinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dengan bermain dan bergerak anak benar-benar belajar tentang potensinya dan dalam kegiatan ini anak-anak mencoba mengenali lingkungan sekitarnya. Para ahli sepaham bahwa pengalaman ini penting untuk merangsang pertumbuhan intelektual dan hubungan sosialnya dan bahkan perkembangan harga diri yang menjadi dasar kepribadiannya kelak.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span>3. Menanamkan dasar-dasar keterampilan yang berguna</span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Peranan pendidikan jasmani di Sekolah Dasar cukup unik, karena turut mengembangkan dasar-dasar keterampilan yang diperlukan anak untuk menguasai berbagai keterampilan dalam kehidupan di kemudian hari. Menurut para ahli, pola pertumbuhan anak usia sekolah hingga menjelang akil balig atau remaja disebut pola pertumbuhan lambat. Pola ini merupakan kebalikan dari pola pertumbuhan cepat yang dialami anak ketika mereka baru lahir hingga usia 5 tahunan. Dalam hal ini berlaku dalil:</span></div><div style="text-align: justify;"> <table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoNormalTable" style="width: 480px;"><tbody>
<tr> <td width="100%"> <div class="MsoNormal"><span>“… </span><em><span>ketika memasuki masa pertumbuhan cepat, kemampuan untuk mempelajari keterampilan-keterampilan baru berjalan lambat. Sebaliknya, dalam masa pertumbuhan yang lambat, kemampuan untuk mempelajari keterampilan meningkat</span></em><span>.”</span></div></td> </tr>
</tbody> </table></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Karena pada usia SD tingkat pertumbuhan sedang lambat-lambatnya, maka pada usia-usia inilah kesempatan anak untuk mempelajari keterampilan gerak sedang tiba pada masa kritisnya. Konsekuensinya, keterlantaran pembinaan pada masa ini sangat berpengruh terhadap perkembangan anak pada masa berikutnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span>4. Menyalurkan energi yang berlebihan</span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Anak adalah mahluk yang sedang berada dalam masa kelebihan energi. Kelebihan energi ini perlu disalurkan agar tidak menganggu keseimbangan perilaku dan mental anak. Segera setelah kelebihan energi tersalurkan, anak akan memperoleh kembali keseimbangan dirinya, karena setelah istirahat, anak akan kembali memperbaharui dan memulihkan energinya secara optimum.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span>5. Merupakan proses pendidikan secara serempak baik fisik, mental maupun emosional</span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani yang benar akan memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap pendidikan anak secara keseluruhan. Hasil nyata yang diperoleh dari pendidikan jasmani adalah perkembangan yang lengkap, meliputi aspek fisik, mental, emosi, sosial dan moral. Tidak salah jika para ahli percaya bahwa pendidikan jasmani merupakan wahana yang paling tepat untuk “membentuk manusia seutuhnya”.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span> <hr size="2" /></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><a href="" name="konsep_penjas"></a><span><strong><span> </span></strong></span><span><strong><span><br />
KONSEPSI DAN FALSAFAH PENDIDIKAN JASMANI</span></strong></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>A. Pengertian Pendidikan Jasmani</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani merupakan bagian penting dari proses pendidikan. Artinya, penjas bukan hanya dekorasi atau ornamen yang ditempel pada program sekolah sebagai alat untuk membuat anak sibuk. Tetapi penjas adalah bagian penting dari pendidikan. Melalui penjas yang diarahkan dengan baik, anak-anak akan mengembangkan keterampilan yang berguna bagi pengisian waktu senggang, terlibat dalam aktivitas yang kondusif untuk mengembangkan hidup sehat, berkembang secara sosial, dan menyumbang pada kesehatan fisik dan mentalnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Meskipun penjas menawarkan kepada anak untuk bergembira, tidaklah tepat untuk mengatakan pendidikan jasmani diselenggarakan semata-mata agar anak-anak bergembira dan bersenang-senang. Bila demikian seolah-olah pendidikan jasmani hanyalah sebagai mata pelajaran ”selingan”, tidak berbobot, dan tidak memiliki tujuan yang bersifat mendidik.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani merupakan wahana pendidikan, yang memberikan kesempatan bagi anak untuk mempelajari hal-hal yang penting. Oleh karena itu, pelajaran penjas tidak kalah penting dibandingkan dengan pelajaran lain seperti; Matematika, Bahasa, IPS dan IPA, dan lain-lain.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Namun demikian tidak semua guru penjas menyadari hal tersebut, sehingga banyak anggapan bahwa penjas boleh dilaksanakan secara serampangan. Hal ini tercermin dari berbagai gambaran negatif tentang pembelajaran penjas, mulai dari kelemahan proses yang menetap misalnya membiarkan anak bermain sendiri hingga rendahnya mutu hasil pembelajaran, seperti kebugaran jasmani yang rendah.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Di kalangan guru penjas sering ada anggapan bahwa pelajaran pendidikan jasmani dapat dilaksanakan seadanya, sehingga pelaksanaannya cukup dengan cara menyuruh anak pergi ke lapangan, menyediakan bola sepak untuk laki-laki dan bola voli untuk perempuan. Guru tinggal mengawasi di pinggir lapangan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Mengapa bisa terjadi demikian? Kelemahan ini berpangkal pada ketidakpahaman guru tentang arti dan tujuan pendidikan jasmani di sekolah, di samping ia mungkin kurang mencintai tugas itu dengan sepenuh hati.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Apakah sebenarnya pendidikan jasmani dan apa tujuannya? Secara umum pendidikan jasmani dapat didefinisikan sebagai berikut:</span></div><div style="text-align: justify;"> <table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoNormalTable" style="width: 460px;"><tbody>
<tr> <td width="100%"> <div class="MsoNormal"><strong><em><span>Pendidikan Jasmani</span></em></strong><span> adalah proses pendidikan melalui aktivitas jasmani, permainan atau olahraga yang terpilih untuk mencapai tujuan pendidikan.</span></div></td> </tr>
</tbody> </table></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Definisi di atas mengukuhkan bahwa pendidikan jasmani merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan umum. Tujuannya adalah untuk membantu anak agar tumbuh dan berkembang secara wajar sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Pencapaian tujuan tersebut berpangkal pada perencanaan pengalaman gerak yang sesuai dengan karakteristik anak.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Jadi, pendidikan jasmani diartikan sebagai proses pendidikan melalui aktivitas jasmani atau olahraga. Inti pengertiannya adalah mendidik anak. Yang membedakannya dengan mata pelajaran lain adalah alat yang digunakan adalah gerak insani, manusia yang bergerak secara sadar. Gerak itu dirancang secara sadar oleh gurunya dan diberikan dalam situasi yang tepat, agar dapat merangsang pertumbuhan dan perkembangan anak didik.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Tujuan pendidikan jasmani sudah tercakup dalam pemaparan di atas yaitu memberikan kesempatan kepada anak untuk mempelajari berbagai kegiatan yang membina sekaligus mengembangkan potensi anak, baik dalam aspek fisik, mental, sosial, emosional dan moral. Singkatnya, pendidikan jasmani bertujuan untuk mengembangkan potensi setiap anak setinggi-tingginya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span><!--[if gte vml 1]> <![endif]--></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Tujuan di atas merupakan pedoman bagi guru penjas dalam melaksanakan tugasnya. Tujuan tersebut harus bisa dicapai melalui kegiatan pembelajaran yang direncanakan secara matang, dengan berpedoman pada ilmu mendidik. Dengan demikian, hal terpenting untuk disadari oleh guru penjas adalah bahwa ia harus menganggap dirinya sendiri sebagai pendidik, bukan hanya sebagai pelatih atau pengatur kegiatan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Misi pendidikan jasmani tercakup dalam tujuan pembelajaran yang meliputi domain kognitif, afektif dan psikomotor. Perkembangan pengetahuan atau sifat-sifat sosial bukan sekedar dampak pengiring yang menyertai keterampilan gerak. Tujuan itu harus masuk dalam perencanaan dan skenario pembelajaran. Kedudukannya sama dengan tujuan pembelajaran pengembangan domain psikomotor.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dalam hal ini, untuk mencapai tujuan tersebut , guru perlu membiasakan diri untuk mengajar anak tentang apa yang akan dipelajari berlandaskan pemahaman tentang prinsip-prinsip yang mendasarinya. Pergaulan yang terjadi di dalam adegan yang bersifat mendidik itu dimanfaatkan secara sengaja untuk menumbuhkan berbagai kesadaran emosional dan sosial anak. Dengan demikian anak akan berkembang secara menyeluruh, yang akan mendukung tercapainya aneka kemampuan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>B. Perbedaan Makna Pendidikan Jasmani dan Pendidikan Olahraga</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Salah satu pertanyaan yang sering diajukan oleh guru-guru penjas belakangan ini adalah : “Apakah pendidikan jasmani?” Pertanyaan yang cukup aneh ini justru dikemukakan oleh yang paling berhak menjawab pertanyaan tersebut.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Hal tersebut mungkin terjadi karena pada waktu sebelumnya guru itu merasa dirinya bukan sebagai guru penjas, melainkan guru pendidikan olahraga. Perubahan pandangan itu terjadi menyusul perubahan nama mata pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, dari mata pelajaran pendidikan olahraga dan kesehatan (orkes) dalam kurikulum 1984, menjadi pelajaran “pendidikan jasmani dan kesehatan” (penjaskes) dalam kurikulum1994.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Perubahan nama tersebut tidak dilengkapi dengan sumber belajar yang menjelaskan makna dan tujuan kedua istilah tersebut. Akibatnya sebagian besar guru menganggap bahwa perubahan nama itu tidak memiliki perbedaan, dan pelaksanaannya dianggap sama. Padahal muatan filosofis dari kedua istilah di atas sungguh berbeda, sehingga tujuannya pun berbeda pula. Pertanyaannya, apa bedanya pendidikan olahraga dengan pendidikan jasmani ?</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani berarti program pendidikan lewat gerak atau permainan dan olahraga. Di dalamnya terkandung arti bahwa gerakan, permainan, atau cabang olahraga tertentu yang dipilih hanyalah alat untuk mendidik. Mendidik apa ? Paling tidak fokusnya pada keterampilan anak. Hal ini dapat berupa keterampilan fisik dan motorik, keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah, dan bisa juga keterampilan emosional dan sosial.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Karena itu, seluruh adegan pembelajaran dalam mempelajari gerak dan olahraga tadi lebih penting dari pada hasilnya. Dengan demikian, bagaimana guru memilih metode, melibatkan anak, berinteraksi dengan murid serta merangsang interaksi murid dengan murid lainnya, harus menjadi pertimbangan utama.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Adapun</span><span> </span><em><span>pendidikan olahraga</span></em><span> </span><span>adalah pendidikan yang membina anak agar menguasai cabang-cabang olahraga tertentu. Kepada murid diperkenalkan berbagai cabang olahraga agar mereka menguasai keterampilan berolahraga. Yang ditekankan di sini adalah ‘ hasil ‘ dari pembelajaran itu, sehingga metode pengajaran serta bagaimana anak menjalani pembelajarannya didikte oleh tujuan yang ingin dicapai. Ciri-ciri pelatihan olahraga menyusup ke dalam proses pembelajaran.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Yang sering terjadi pada pembelajaran ‘pendidikan olahraga‘ adalah bahwa guru kurang memperhatikan kemampuan dan kebutuhan murid. Jika siswa harus belajar bermain bola voli, mereka belajar keterampilan teknik bola voli secara langsung. Teknik-teknik dasar dalam pelajaran demikian lebih ditekankan, sementara tahapan penyajian tugas gerak yang disesuaikan dengan kemampuan anak kurang diperhatikan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Guru demikian akan berkata: “kalau perlu tidak usah ada pentahapan, karena anak akan dapat mempelajarinya secara langsung. Beri mereka bola, dan instruksikan anak supaya bermain langsung”. Anak yang sudah terampil biasanya dapat menjadi contoh, dan anak yang belum terampil belajar dari mengamati demonstrasi temannya yang sudah mahir tadi. Untuk pengajaran model seperti ini, ada ungkapan: “Kalau anda ingin anak-anak belajar renang, lemparkan mereka ke kolam yang paling dalam, dan mereka akan bisa sendiri“</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Tabel di bawah menekankan perbedaan antara pendidikan jasmani dengan pendidikan olahraga.</span></div><div style="text-align: justify;"> <table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoNormalTable" style="width: 518px;"><tbody>
<tr> <td colspan="2" width="518"> <div class="MsoNormal"><strong><span>Perbedaan antara Pendidikan Jasmani dan Pendidikan Olahraga</span></strong></div></td> </tr>
<tr> <td width="259"> <div class="MsoNormal"><span>Pendidikan Jasmani</span></div></td> <td width="259"> <div class="MsoNormal"><span>Pendidikan Olahraga</span></div></td> </tr>
<tr> <td width="259"> <ul type="disc"><li class="MsoNormal"><span>Sosialisasi atau mendidik via olahraga</span></li>
<li class="MsoNormal"><span>Menekankan perkembangan kepribadian menyeluruh</span></li>
<li class="MsoNormal"><span>Menekankan penguasaan keterampilan dasar.</span></li>
</ul></td> <td width="259"> <ul type="disc"><li class="MsoNormal"><span>Sosialisasi atau mendidik ke dalam olahraga</span></li>
<li class="MsoNormal"><span>Mengutamakan penguasaan keterampilan berolahraga</span></li>
<li class="MsoNormal"><span>Menekankan penguasaan teknik dasar</span></li>
</ul></td> </tr>
</tbody> </table></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani tentu tidak bisa dilakukan dengan cara demikian. Pendidikan jasmani adalah suatu proses yang terencana dan bertahap yang perlu dibina secara hati-hati dalam waktu yang diperhitungkan.<br />
Bila orientasi pelajaran pendidikan jasmani adalah agar anak menguasai keterampilan berolahraga, misalnya sepak bola, guru akan lebih menekankan pada pembelajaran teknik dasar dengan kriteria keberhasilan yang sudah ditentukan. Dalam hal ini, guru tidak akan memperhatikan bagaimana agar setiap anak mampu melakukannya, sebab cara melatih teknik dasar yang bersangkutan hanya dilakukan dengan cara tunggal. Beberapa anak mungkin bisa mengikuti dan menikmati cara belajar yang dipilih guru tadi. Tetapi sebagian lain merasa selalu gagal, karena bagi mereka cara latihan tersebut terlalu sulit, atau terlalu mudah.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Anak-anak yang berhasil akan merasa puas dari cara latihan tadi, dan segera menyenangi permainan sepak bola. Tetapi bagaimana dengan anak-anak lain yang kurang berhasil? Mereka akan serta merta merasa bahwa permainan sepak bola terlalu sulit dan tidak menyenangkan, sehingga mereka tidak menyukai pelajaran dan permainan sepak bola tadi. Apalagi bila ketika mereka melakukan latihan yang gagal tadi, mereka selalu diejek oleh teman-teman yang lain atau bahkan oleh gurunya sendiri.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Anak-anak dalam ‘kelompok gagal’ ini biasanya mengalami perasaan negatif. Akibatnya, citra diri anak tidak berkembang dan anak cenderung menjadi anak yang rendah diri.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Melalui pembelajaran pendidikan jasmani yang efektif, semua kecenderungan tadi bisa dihapuskan, karena guru memilih cara agar anak yang kurang terampil pun tetap menyukai latihan memperoleh pengalaman sukses. Di samping guru membedakan bentuk latihan yang harus dilakukan setiap anak, kriteria keberhasilannya pun dibedakan pula. Untuk ‘kelompok mampu’ kriteria keberhasilan lebih berat dari anak yang kurang mampu, misalnya dalam pelajaran renang di tentukan: mampu meluncur 10 meter untuk anak mampu, dan hanya 5 meter untuk anak kurang mampu.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dengan cara demikian, semua anak merasakan apa yang disebut “perasaan berhasil” tadi, dan anak makin menyadari bahwa kemampuannya pun meningkat, seiring dengan seringnya mereka mengulang-ulang latihan. Cara ini disebut gaya mengajar ‘partisipatif’ karena semua anak merasa dilibatkan dalam proses pembelajaran.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Untuk mencegah terjadinya bahaya lain dari kegagalan, guru pendidikan jasmani harus mengembangkan cara respons siswa terhadap anak yang gagal dan melarang siswa untuk melemparkan ejekan pada temannya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>C. Dasar Falsafah Pendidikan Jasmani</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan umum. Lewat program penjas dapat diupayakan peranan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu. Tanpa penjas, proses pendidikan di sekolah akan pincang.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Sumbangan nyata pendidikan jasmani adalah untuk mengembangkan keterampilan (psikomotor). Karena itu posisi pendidikan jasmani menjadi unik, sebab berpeluang lebih banyak dari mata pelajaran lainnya untuk membina keterampilan. Hal ini sekaligus mengungkapkan kelebihan pendidikan jasmani dari pelajaran-pelajaran lainnya. Jika pelajaran lain lebih mementingkan pengembangan intelektual, maka melalui pendidikan jasmani terbina sekaligus aspek penalaran, sikap dan keterampilan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Ada tiga hal penting yang bisa menjadi sumbangan unik dari pendidikan jasmani, yaitu:</span></div><ul style="text-align: justify;" type="disc"><li class="MsoNormal"><span>meningkatkan kebugaran jasmani dan kesehatan siswa,</span></li>
<li class="MsoNormal"><span>meningkatkan terkuasainya keterampilan fisik yang kaya, serta</span></li>
<li class="MsoNormal"><span>meningkatkan pengertian siswa dalam prinsip-prinsip gerak serta bagaimana menerapkannya dalam praktek.</span></li>
</ul><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Adakah pelajaran lain (seperti bahasa, matematika, atau IPS) yang bisa menyumbang kemampuan-kemampuan seperti di atas?</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Untuk meneliti aspek penting dari penjas, dasar-dasar pemikiran seperti berikut perlu dipertimbangkan:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>1. Kebugaran dan kesehatan</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Kebugaran dan kesehatan akan dicapai melalui program pendidikan jasmani yang terencana, teratur dan berkesinambungan. Dengan beban kerja yang cukup berat serta dilakukan dalam jangka waktu yang cukup secara teratur, kegiatan tersebut akan berpengaruh terhadap perubahan kemampuan fungsi organ-organ tubuh seperti jantung dan paru-paru. Sistem peredaran darah dan pernapasan akan bertambah baik dan efisien, didukung oleh sistem kerja penunjang lainnya. Dengan bertambah baiknya sistem kerja tubuh akibat latihan, kemampuan tubuh akan meningkat dalam hal daya tahan, kekuatan dan kelentukannya. Demikian juga dengan beberapa kemampuan motorik seperti kecepatan, kelincahan dan koordinasi.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani juga dapat membentuk gaya hidup yang sehat. Dengan kesadarannya anak akan mampu menentukan sikap bahwa kegiatan fisik merupakan kebutuhan pokok dalam hidupnya, dan akan tetap dilakukan di sepanjang hayat. Sikap itulah yang kemudian akan membawa anak pada kualitas hidup yang sehat, sejahtera lahir dan batin, yang disebut dengan istilah wellness.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Konsep sehat dan sejahtera secara menyeluruh berbeda dengan pengertian sehat secara fisik. Anak-anak dididik untuk meraih gaya hidup sehat secara total serta kebiasan hidup yang sehat, baik dalam arti pemahaman maupun prakteknya. Kebiasaan hidup sehat tersebut bukan hanya kesehatan fisik, tetapi juga mencakup juga kesejahteraan mental, moral, dan spiritual. Tanda-tandanya adalah anak lebih tahan dalam menghadapi tekanan dan cobaan hidup, berjiwa optimis, merasa aman, nyaman, dan tenteram dalam kehidupan sehari-hari.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>2. Keterampilan fisik</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Keterlibatan anak dalam asuhan permainan, senam, kegiatan bersama, dan lain-lain, merangsang perkembangan gerakan yang efisien yang berguna untuk menguasai berbagai keterampilan. Keterampilan tersebut bisa berbentuk keterampilan dasar misalnya berlari dan melempar serta keterampilan khusus seperti senam atau renang. Pada akhirnya keterampilan itu bisa mengarah kepada keterampilan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>3. Terkuasainya prinsip-prinsip gerak</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani yang baik harus mampu meningkatkan pengetahuan anak tentang prinsip-prinsip gerak. Pengetahuan tersebut akan membuat anak mampu memahami bagaimana suatu keterampilan dipelajari hingga tingkatannya yang lebih tinggi. Dengan demikian, seluruh gerakannya bisa lebih bermakna. Sebagai contoh, anak harus mengerti mengapa kaki harus dibuka dan bahu direndahkan ketika anak sedang berusaha menjaga keseimbangannya. Mereka juga diharapkan mengerti mengapa harus dilakukan pemanasan sebelum berolahraga, serta apa akibatnya terhadap derajat kebugaran jasmani bila seseorang berlatih tidak teratur?</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Namun demikian, sumbangan pendidikan jasmani pun bukan hanya bersifat fisik semata, melainkan merambah pada peningkatan kemampuan oleh pikir seperti kemampuan membuat keputusan dan olah rasa seperti kemampuan memahami perasaan orang lain (empati).</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>4. Kemampuan berpikir</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Memang sulit diamati secara langsung bahwa kegiatan yang diikuti oleh anak dalam pendidikan jasmani dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak. Namun demikian dapat ditegaskan di sini bahwa pendidikan jasmani yang efektif mampu merangsang kemampuan berpikir dan daya analisis anak ketika terlibat dalam kegiatan-kegiatan fisiknya. Pola-pola permainan yang memerlukan tugas-tugas tertentu akan menekankan pentingnya kemampuan nalar anak dalam hal membuat keputusan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Taktik dan strategi yang melekat dalam berbagai permainan pun perlu dianalisis dengan baik untuk membuat keputusan yang tepat dan cepat. Secara tidak langsung, keterlibatan anak dalam kegiatan pendidikan jasmani merupakan latihan untuk menjadi pemikir dan pengambil keputusan yang mandiri.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dalam kegiatan pendidikan jasmani banyak sekali adegan pembelajaran yang memerlukan diskusi terbuka yang menantang penalaran anak. Teknik gerak dan prinsip-prinsip yang mendasarinya merupakan topik-topik yang menarik untuk didiskusikan. Peraturan permainan dan variasi-variasi gerak juga bisa dijadikan rangsangan bagi anak untuk memikirkan pemecahannya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>5. Kepekaan rasa</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dalam hal olah rasa, pendidikan jasmani menempati posisi yang sungguh unik. Kegiatannya yang selalu melibatkan anak dalam kelompok kecil maupun besar merupakan wahana yang tepat untuk berkomunikasi dan bergaul dalam lingkup sosial. Dalam kehidupan sosial, setiap individu akan belajar untuk bertanggung jawab melaksanakan peranannya sebagai anggota masyarakat. Di dalam masyarakat banyak norma yang harus ditaati dan aturan main yang melandasinya. Melalui penjas, norma dan aturan juga dipelajari, dihayati dan diamalkan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Untuk dapat berperan aktif, anak pun akan menyadari bahwa ia dan kelompoknya harus menguasai beberapa keterampilan yang diperlukan. Sesungguhnyalah bahwa kegiatan pendidikan jasmani disebut sebagai ajang nyata untuk melatih keterampilan-keterampilan hidup (<em>life skill</em>), agar seseorang dapat hidup berguna dan tidak menyusahkan masyarakat. Keterampilan yang dipelajari bukan hanya keterampilan gerak dan fisik semata, melainkan terkait pula dengan keterampilan sosial, seperti berempati pada orang lain, menahan sabar, memberikan respek dan penghargaan pada orang lain, mempunyai motivasi yang tinggi, serta banyak lagi. Seorang ahli menyebut bahwa kesemua keterampilan di atas adalah keterampilan hidup. Sedangkan ahli yang lain memilih istilah kecerdasan emosional (<em>emotional intelligence</em>).</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>6. Keterampilan sosial</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Kecerdasan emosional atau keterampilan hidup bermasyarakat sangat mementingkan kemampuan pengendalian diri. Dengan kemampuan ini seseorang bisa berhasil mengatasi masalah dengan kerugian sekecil mungkin. Anak-anak yang rendah kemampuan pengendalian dirinya biasanya ingin memecahkan masalah dengan kekerasan dan tidak merasa ragu untuk melanggar berbagai ketentuan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani menyediakan pengalaman nyata untuk melatih keterampilan mengendalikan diri, membina ketekunan dan motivasi diri. Hal ini diperkuat lagi jika proses pembelajaran direncanakan sebaik-baiknya. Setiap adegan pembelajaran dalam permainan dapat dijadikan arena dialog dan perenungan tentang apa sisi baik-buruknya suatu keputusan. Tak pelak, ini merupakan cara pembinaan moral yang efektif.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Sebagai contoh, jika dalam sebuah proses penjas terjadi pertengkaran antara dua orang anak, guru bisa segera menghentikan kegiatan seluruh kelas dan mengundang mereka untuk membicarakannya. Sebab-sebab pertengkaran diteliti dan guru memancing pendapat anak-anak tentang apa perlunya mereka bertengkar, selain itu mereka dirangsang untuk mencari pemecahan yang paling baik untuk kedua belah pihak.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Demikian juga dalam setiap adegan proses permainan yang memerlukan kesiapan mentaati peraturan permainan. Di samping guru mempertanyakan pentingnya peraturan untuk ditaati, guru dapat juga mengundang siswa untuk melihat berbagai konsekuensinya jika peraturan itu dilanggar. Lalu guru dapat menanyakan pendapat siswa tentang tujuan permainan. Misalnya guru bertanya: :”Apakah memenangkan pertandingan dengan segala cara bisa dibenarkan?”, “Apakah kalah dalam suatu permainan benar-benar merugikan?” bahkan lebih jauh lagi mungkin guru bisa memilih topik di luar kejadian yang mereka alami sendiri, misalnya topik tentang tawuran antar pelajar dari sekolah yang berbeda. Topik ini menarik untuk dibicarakan dari sisi moral serta akibatnya terhadap kehidupan bermasyarakat.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>7. Kepercayaan diri dan citra diri (self esteem)</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Melalui pendidikan jasmani kepercayaan diri dan citra diri (self esteem) anak akan berkembang. Secara umum citra diri diartikan sebagai cara kita menilai diri kita sendiri. Citra diri ini merupakan dasar untuk perkembangan kepribadian anak. Dengan citra diri yang baik seseorang merasa aman dan berkeinginan untuk mengeksplorasi dunia. Dia mau dan mampu mengambil resiko, berani berkomunikasi dengan teman dan orang lain, serta mampu menanggulangi stress.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Cara membina citra diri ini tidak cukup hanya dengan selalu berucap “saya pasti bisa” atau “ saya paling bagus”. Tetapi perlu dinyatakan dalam usaha dan pembiasan perilaku. Di situlah penjas menyediakan kesempatan pada anak untuk membuktikannya. Ketika anak-anak berhasil mempelajari berbagai keterampilan gerak dan kemampuan tubuhnya, perasaan positif akan berkembang dan ia merasa optimis atau mampu untuk berbuat sesuatu. Dengan perasaan itu anak-anak akan merasa bahwa dirinya memiliki kemampuan yang baik dan pada gilirannya akan mempengaruhi pula kualitas usahanya di lain waktu, agar sama seperti yang dicitrakannya. Bila siswa merasa gagal sebelum berusaha, keadaan ini disebut perasaan negatif, lawan dari perasaan positif.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Kejadian demikian yang berulang-ulang akan memperkuat kepercayaan bahwa dirinya memang memiliki kemampuan, sehingga terbentuk menjadi kepercayaan diri yang kuat. Karena itu penting bagi guru penjas untuk menyajikan tugas-tugas belajar yang bisa menyediakan pengalaman sukses dan menimbulkan perasaan berhasil (feeling of success) pada setiap anak. Salah satu siasat yang dapat dikerjakan adalah ukuran keberhasilan belajar tidak bersifat mutlak. Tiap anak memakai ukurannya masing-masing.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>D. Landasan Ilmiah Pelaksanaan Pendidikan Jasmani</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Secara ilmiah pelaksanaan pendidikan jasmani mendapat dukungan dari berbagai disiplin ilmu, di mana pandangan-pandangan dari setiap disiplin tersebut dapat dijadikan sebagai landasan bagi berlangsungnya program penjas di sekolah-sekolah. Di bagian ini, penulis akan menguraikan landasan ilmiah dari minimal tiga disiplin ilmu, yaitu dari sudut pandang biologis, sudut pandang psikologis, dan yang terakhir sudut pandang sosiologis.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>1. Landasan Biologis bagi Pendidikan Jasmani</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani adalah disiplin yang berorientasi tubuh, di samping berorientasi pada disiplin mental dan sosial. Guru pendidikan jasmani karenanya harus memiliki penguasaan yang kokoh terhadap fungsi fisikal dari tubuh untuk memahami secara lebih baik pemanfaatannya dalam kegiatan pendidikan jasmani. Khususnya dalam masa modern dewasa ini, ketika pendidikan gerak dipandang teramat penting, pengetahuan tentang bagaimana tubuh manusia berfungsi dipandang amat krusial agar bisa melaksanakan tugas pengajaran dengan baik.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Joseph W. Still telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk meneliti perilaku fisikal dan intelektual manusia. Meskipun penelitiannya sudah berlangsung di masa lalu, namun masih menemukan faktanya di masa kini, bahkan maknanya seolah mendapatkan angin baru dalam era teknologi dewasa ini. Dalam penelitiannya, Still menemukan bahwa keberhasilan manusia dalam pencapaian prestasi, baik dalam hal prestasi fisikal maupun dalam prestasi intelektual, berhubungan dengan usia serta dapat digambarkan dalam bentuk sebuah kurva, di mana kurva itu bisa menaik dan bisa menurun, sesuai dengan perjalanan usia manusia.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dalam kurva hasil penelitian Still ditunjukkan bahwa tidak lebih dari 5% populasi manusia berhasil mendaki kurva keberhasilan, sedang selebihnya lebih banyak mengikuti kurva kegagalan, terutama setelah melewati usia antara 25 hingga 35 tahun. Yang menarik, menurut dugaan Still, kurva kegagalan dalam pertumbuhan fisik menunjukkan bahwa perkembangan fisik manusia dewasa ini semakin berkurang. Sebabnya, manusia modern sekarang dihadapkan pada rendahnya melakukan latihan fisik, di samping karena terlalu banyak makan, minum, dan merokok; sehingga mereka merosot kondisinya setelah usia 30 tahunan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Demikian juga dalam hal pertumbuhan dan perkembangan psikologis, yang menunjukkan kurva kegagalan dalam hal prestasinya. Ciri-ciri perkembangan mental menunjukkan puncak prestasi pada tahap perkembangan yang berbeda. Kemampuan mengingat dicapai pada usia muda, imajinasi kreatif mencapai puncaknya pada usia dua puluhan hingga tiga puluhan, keterampilan menganalisis dan sintesis suatu persoalan berakhir di usia pertengahan, sedangkan pada usia-usia berikutnya berkembang kemampuan berfilsafat.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Secara biologis, manusia dirancang untuk menjadi mahluk yang aktif. Meskipun perubahan dalam jaman dan peradaban telah menyebabkan penurunan dalam jumlah aktivitas yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugas dasar yang berkaitan dengan kehidupan, sebenarnya tubuh manusia tidaklah berubah. Karenanya, manusia harus tetap menyadari bahwa dalam hal kesehatan tubuhnya, dasar biologisnya menuntut dan mengakui pentingnya aktivitas fisik yang keras dalam hidupnya. Jika tidak, kesehatan, produktivitas, serta efektivitas hidupnya akan menurun drastis. Dalam hal itulah pendidikan jasmani yang baik di sekolah dan di masa-masa berikut dalam hidupnya dipandang amat penting dalam menjaga kemampuan bilogis manusia. Dipandang dari sudut ini, pendidikan jasmani terikat dekat pada kekuatan mental, emosional, sosial, dan spiritual manusia.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span> <hr size="2" /></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>2. Landasan Psikologis Pendidikan Jasmani</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani melibatkan interaksi antara guru dengan anak serta anak dengan anak. Di dalam adegan pembelajaran yang melibatkan interaksi tersebut, terletak suatu keharusan untuk saling mengakui dan menghargai keunikan masing-masing, termasuk kelebihan dan kelemahannya. Dan ini bukan hanya berkaitan dengan kelainan fisik semata-mata, tetapi juga dalam kaitannya dengan perbedaan psikologis seperti kepribadian, karakter, pola pikir, serta tak kalah pentingnya dalam hal pengetahuan dan kepercayaan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Program pendidikan jasmani yang baik tentu harus dilandasi oleh pemahaman guru terhadap karakteristik psikologis anak, dan yang paling penting dalam hal sumbangan apa yang dapat diberikan oleh program pendidikan jasmani terhadap perkembangan mental dan psikologis anak.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Studi dalam ilmu-ilmu psikologi mempunyai implikasi untuk para guru pendidikan jasmani, terutama dalam wilayah atau sub-disiplin ilmu teori belajar, teori pembelajaran gerak, perkembangan kepribadian, serta sikap. Kesemua sub-disiplin itu, memberikan pemahaman yang lebih luas dalam hal bagaimana anak belajar, dan yang terpenting upaya apa yang harus dipertimbangkan guru dikaitkan dengan menciptakan lingkungan belajar yang memungkinkan anak belajar.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Kata psikologi berasal dari kata-kata Yunani psyche, yang berarti jiwa atau roh, dan logos, yang berarti ilmu. Diartikan secara populer, psikologi adalah ilmu jiwa atau ilmu pikiran. Para ahli psikologi mempelajari hakikat manusia secara ilmiah, dan untuk memahami alam pikiran manusia, termasuk anak, termasuk ciri-ciri manusia ketika belajar.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani lebih menekankan proses pembelajarannya pada penguasaan gerak manusia. Pemahaman yang lebih mendalam terhadap kecenderungan dan hakikat gerak ini, misalanya melalui teori gerak dan teori belajar gerak, maka memungkinkan guru lebih memahami tentang kondisi apa yang perlu disediakan untuk memungkinkan anak belajar secara efektif.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Jika dahulu para guru penjas lebih bersandar pada teori belajar behaviorisme, yang lebih melihat proses pembelajaran dari perubahan perilaku anak, maka dewasa ini sudah diakui adanya keharusan untuk memahami tentang apa yang terjadi di dalam diri anak ketika mempelajari keterampilan gerak, yang ditunjang oleh berkembangan teori belajar kognitivisme.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Bersandar secara berlebihan pada teori belajar behaviorisme tentu mengandung kelemahan tertentu, karena mendorong dan membenarkan guru dengan proses pembelajaran yang sangat mekanistis; sekedar terjadi persambungan antara stimulus (aba-aba guru) dengan respons siswa (gerakan siswa), yang diperkuat oleh adanya reinforcement (ucapan pujian dari guru). Akibatnya, guru pun umumnya abai dengan bagaimana sebenarnya proses yang terjadi di dalam otak dan perangkat gerak anak, sehingga guru tidak pernah terlalu mempertimbangkan kualitas dari proses pembelajaran, termasuk keharusan untuk melibatkan proses berpikir dari anak. Akhirnya, anak relatif tidak pernah punya gagasan apapun dalam pelajaran, dan klaim bahwa penjas memiliki peranan dalam pengembangan kemampuan intelektual anak tidak terbuktikan secara nyata.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Perkembangan teori belajar kognitivisme menguak fakta kekakuan proses pembelajaran penjas tersebut. Dalam salah satu teori belajar pengolahan informasi (information processing theory) diungkap bahwa idealnya pembelajaran gerak adalah sebuah proses pengambilan keputusan, yang secara hirarkis akan selalu melalui tiga tahapan yang tetap, yaitu tahap mengidentifikasi stimulus, tahap memilih respons, dan tahap memprogram respons. Jika pada proses pembelajaran siswa diberi kesempatan dan didorong untuk terus-menerus meningkatkan kemampuan pengambilan keputusannya, maka secara pasti kemampuannya tersebut terlatih, karena masing-masing perangkat yang berhubungan dengan ketiga tahapan pengambilan keputusan itupun kemampuannya semakin meningkat pula.</span></div><div style="text-align: justify;">Dari pemahaman terhadap landasan psikologis itulah, maka pembelajaran penjas yang baik tidak cukup hanya dengan memberikan perintah dan tugas-tugas gerak semata (misalnya dengan instruksi yang klasik seperti, “… ketika kamu menerima bola, kamu lari ke arah sana, lalu kamu lempar bola itu ke si A, dan kamu kembali ke sini”), melainkan harus pula dibarengi dengan upaya memberikan kesempatan pada mereka untuk menganalisis situasi dan berikan kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri (misalnya: “… baik, ketika posisi lapangan ketat dan kamu dijaga terus oleh lawan, kira-kira kemanakah kamu harus melempar bola? Coba kita praktekkan, apakah keputusanmu sudah tepat atau tidak?”).</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>3. Landasan Sosiologis dalam Pendidikan Jasmani</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani adalah sebuah wahana yang sangat baik untuk proses sosialisasi. Perkembangan sosial jelas penting, dan aktivitas pendidikan jasmani mempunyai potensi untuk menuntaskan tujuan-tujuan tersebut. Seperangkat kualitas dari perkembangan sosial yang dapat dikembangkan dan dipengaruhi dalam proses penjas di antaranya adalah kepemimpinan, karakter moral, dan daya juang.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Sosiologi berkepentingan dengan upaya mempelajari manusia dan aktivitasnya dalam kaitannya dengan hubungan atau interaksi antar satu manusia dengan manusia lainnya, termasuk sekelompok orang dengan kelompok lainnya. Di sisi lain, sosiologi berhubungan juga dengan ilmu yang menaruh perhatian pada lembaga-lembaga sosial seperti agama, keluarga, pemerintah, pendidikan, dan rekreasi. Singkatnya, sosiologi adalah ilmu yang berkepentingan dalam mengembangkan struktur dan aturan sosial yang lebih baik yang dicirikan oleh adanya kebahagiaan, kebaikan, toleransi, dan kesejajaran sosial.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dikaitkan dengan landasan tersebut, seorang guru penjas sesungguhnya adalah seorang sosiologis yang perlu mengetahui prinsip-prinsip umum sosiologi, agar mampu memanfaatkan proses pembelajarannya untuk menanamkan nilai-nilai yang dapat dikembangkan melalui penjas. Sebagaimana dikemukakan Bucher, guru yang mengerti sosiologi dalam konteks kependidikan akan mampu mengembangkan minimal tiga fungsi: (1) pengaruh pendidikan pada institusi sosial dan pengaruh kehidupan kelompok pada individu, seperti bagaimana sekolah berpengaruh kepribadian atau perilaku individu; (2) hubungan manusia yang beroperasi di sekolah yang melibatkan siswa, orang tua, dan guru dan bagaimana mereka mempengaruhi kepribadian dan perilaku individu; dan (3) hubungan sekolah kepada institusi lain dan elemen lain masyarakat, misalnya pengaruh dari pendidikan pada kehidupan masyarakat kota.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>BAB III</span></strong><strong><span> </span></strong><strong><span><br />
ASAS PENGEMBANGAN PENJAS DI SDLB/SLB TINGKAT DASAR</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>A. Asas Pengembangan dan Penetapan Sasaran Pendidikan Jasmani</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani di Sekolah Dasar mencakup ruang lingkup yang luas karena terkait langsung dengan karakteristik anak-anak dari berbagai usia. Dilihat dari tahapan pertumbuhan dan perkembangan fisik anak pada tingkat usia sekolah dasar, sedikitnya terlibat 3 tahapan, yaitu:<br />
a. tahapan akhir dari masa kanak-kanak awal (antara usisa 5 – 7 tahun)<br />
b. tahapan masa kanak-kanak akhir (middle childhood) dan<br />
c. tahapan awal dari pra-adolesen ( yang bisa dimulai pada usia 8 tahun atau rata-rata usia 10 tahun)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Demikian juga dalam perkembangan motorik dan keterampilan. Anak-anak usia SD mengalami masa-masa perkembangan motorik dan keterampilan yang berbeda-beda. Pada usia-usia 5 – 8 tahun, anak mulai berurusan dengan kemampuan pengelolaan tubuhnya dan keterampilan dasar seperti keterampilan berpindah tempat (locomotor), gerak statis di tempat (non-locomotor) dan gerak memakai anggota badan (manipulative).</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pada usia di atasnya, anak-anak mulai matang menguasai keterampilan khusus, dari mulai keterampilan manipulatif lanjutan, hingga kegiatan-kegiatan berirama dan permainan, senam, kegiatan di air, dan kegiatan untuk pembinaan kebugaran jasmani. Dalam beberapa cabang olahraga, pentahapan pencapaian keterampilan tingkat tinggi pun sudah dapat mulai dilaksanakan di kelas-kelas akhir SD, misalnya senam, loncat indah, dan renang.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Karena begitu eratnya hubungan antara tingkat pertumbuhan dan perkembangan fisik dan keterampilan anak, ruang lingkup pendidikan jasmani yang ditawarkan di sekolah dasar semestinya dikembangkan berdasarkan kebutuhan anak-anak. Hal ini tidak bisa dibuat begitu saja, sebab perlu diolah sebaik-baiknya dengan pertimbangan yang matang. Pertimbangan tersebut meliputi (1) dasar-dasar pengembangan program, (2) pola pertumbuhan dan perkembangan anak, (3) dorongan dasar anak-anak, dan (4) karakteristik serta minat anak.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Mari kita simak satu persatu keempat pertimbangan tersebut.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>Dasar-Dasar Pengembangan Program</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Ada beberapa prinsip yang menjadi landasan bagi pengembangan program pendidikan jasmani, yaitu:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span><span>1.<span> </span></span></span><em><span>Kurikulum Pendidikan Jasmani haruslah berorientasi kepada anak dan tingkat perkembangannya</span></em><span>. Pemilihan kegiatan dalam penjas harus di dasarkan pada tuntutan dan karakteristik anak dan dilengkapi dengan pertimbangan tentang tingkat-tingkat perkembangan mereka. Anaklah yang menjadi pusat kurikulum, dan karenanya pengalaman-pengalaman yang dipilihkan juga harus sesuai dengan kebutuhan mereka.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span><span>2.<span> </span></span></span><em><span>Setiap anak berbeda-beda dalam hal kebutuhan dan kemampuan belajarnya</span></em><span>. Setiap anak mempunyai hak untuk mencapai potensinya masing-masing sehingga kurikulum harus memberikan kesempatan agar anak memperoleh pengalaman semacam itu. Anak-anak harus berkembang dalam kecepatan yang sesuai dengan iramanya, dan kurikulum harus mampu meningkatkan perkembangan mereka. Perbedaan-perbedaan individual harus menjadi pedoman dalam menerapkan kurikulum, sehingga tujuan, kegiatan, dan pengalaman belajar lebih memenuhi kebutuhan individual daripada kebutuhan pokok.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span><span>3.<span> </span></span></span><em><span>Anak harus dilihat sebagai manusia yang utuh</span></em><span>. Kurikulum hendaknya bertanggung jawab dalam mengembangkan aspek-aspek yang lengkap dari anak-anak, bukan saja keterampilan fisik dan kebugaran jasmani, tetapi mencakup keterampilan kognitif dan keterampilan sosial. Dalam wilayah kognitif misalnya, pembelajaran yang terpadu harus sejalan dengan perkembangan dari kebugaran fisik dan keterampilan. Demikian juga dalam wilayah afektif, pencapaian keberhasilan yang bersifat fisik memainkan peran yang amat penting dalam mengembangkan konsep diri yang positif. Anak-anak yang mencapai efisiensi gerak dan berhasil dalam keterampilannya, akan lebih mudah menyesuaikan dirinya dalam kehidupan sekolahnya daripada yang kurang mampu secara gerak.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span><span>4.<span> </span></span></span><em><span>Hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan anak harus diajarkan melalui pendidikan jasmani</span></em><span>. Kegiatan pelajaran harus dilaksanakan dalam sifat yang meyakinkan bahwa tujuan-tujuan dari pendidikan jasmani dapat dicapai. Nilai-nilai yang dikandung dalam pendidikan jasmani tidak dicapai secara otomatis atau kebetulan saja. Sifat-sifat seperti kejujuran, fair-play, disiplin diri, dan kerjasama kelompok bukanlah hasil ikutan dari kegiatan fisik. Pendidikan jasmani harus menjadi suatu program pengajaran utama, yang memanfaatkan strategi mrngajar yang bernuansa pendidikan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span><span>5.<span> </span></span></span><em><span>Gerakan merupakan dasar bagi pendidikan jasmani</span></em><span>. Mutu program penjas dapat dinilai berdasarkan mutu pengalaman gerakan yang dialami oleh anak-anak. Pendidikan jasmani memang terdiri atas kegiatan fisik yang harus dilakukan secara aktif. Anak-anak tidak akan dapat mengambil manfaat hanya dari berbaris, menunggu datangnya alat-alat atau mendengarkan penjelasan guru yang panjang. Pendidikan jasmani harus menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak-anak untuk menimba pengalaman gerak.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span><span>6.<span> </span></span></span><em><span>Pembelajaran harus terjadi melampaui kepentingan sesaat tapi harus menawarkan keterampilan yang berguna untuk seumur hidup</span></em><span>. Dalam masyarakat modern dewasa ini, pemeliharaan kebugaran jasmani dan kesehatan dipandang sebagai kebutuhan utama. Dengan demikian pendidikan jasmani harus memberikan program yang cukup dinamis agar mampu mengembangkan kebugaran jasmani peserta didik. Kebugaran merupakan dasar untuk pencapaian keterampilan gerak. Pelaksanaannya harus berdasarkan kemampuan anak dan beban latihannya disesuaikan dengan kesangupan setiap siswa.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>Pola Pertumbuhan dan Perkembangan Anak</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Uraian tentang tahapan dan pola pertumbuhan dan perkembangan anak tidak akan cukup diliput dalam penggalan singkat ini. Yang akan ditemui dalam bagian ini merupakan ringkasan dari pola pertumbuhan dan perkembangan anak dalam wilayah psikomotor.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><em><span>1. Perkembangan ke arah memanjang (Cephalocaudal) dan ke arah tepi (Proximodistal)</span></em></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Kedua istilah ini menunjukkan rangkaian perkembangan fisik yang teratur. Cephalocaudal adalah perkembangan fisik yang berlangsung ke arah memanjang (longitudinal) dari kepala ke kaki. Ini merupakan kemajuan yang bertahap didukung pengontrolan otot yang meningkat yang bergerak dari otot-otot kepala, leher, lalu ke tubuh, dan akhirnya ke tungkai dan kaki.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Gejala ini mengikuti ciri-ciri dalam perkembangan bayi dalam rahim yaitu dimulai dari pembentukan kepala, kemudian lengan dan tungkai. Pengontrolan otot-otot pun berlangsung dalam rangkaian yang sama. Perkembangan proximodistal berlangsung dari pusat tubuh mengarah ke tepi yang tampak ketika anak baru belajar menulis. Mereka cenderung menggunakan gerakan besar dari bahu sebelum gerakan halus untuk menulis dikuasai.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><em><span>2. Gerak kasar dan gerak halus</span></em></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Sejalan dengan perkembangan ke arah memanjang dan ke arah tepi, perkembangan gerak kasar dan halus menunjuk pada</span><span> </span><span><br />
penguasaan otot anak-anak yang bergerak dari otot –otot besar dahulu sebelum anak mampu membedakan bagian-bagian dan menggerakkannya secara terpisah. Penguasaan keterampilan menulis misalnya, ditandai dengan ciri yaitu pada saat-saat awal, anak-anak menggunakan lebih banyak bagian-bagian tubuh daripada yang diperlukannya. Ini menunjukkan bahwa anak belum bisa bergerak secara efisien, dengan hanya menggunakan otot yang diperlukan saja. Sejalan dengan tingkat perkembangannya dan dibantu oleh proses latihan, penguasaan gerak efisien kelak akan dicapai.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><em><span>3. Bilateral ke Unilateral</span></em></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pada masa-masa awal pengontrolan gerak, gerakan cenderung dilakukan secara bilateral yaitu anak kecil menggunakan satu atau kedua tangan untuk menguasai sebuah benda. Secara bertahap pilihan untuk mengontrol sesuatu beralih hanya dengan tangan atau dengan kaki yang disebut perkembangan unilateral.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><em><span>4. Diferensiasi dan Integrasi</span></em></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Kedua proses di atas terkait dengan peningkatan fungsi gerak yang berasal dari perkembangan saraf. Diferensiasi dikaitkan dengan proses bertahap dari kontrol gerak yang memerlukan otot besar ke gerakan khusus yang lebih diperhalus oleh perkembangan individu. Sedangkan integrasi menunjuk pada fungsi jalinan saraf dari bermacam-macam kelompok otot yang berlawanan agar terkoordinasi satu sama lain.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><em><span>5. Filogenetik dan Ontogenetik</span></em></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Keterampilan filogenetik adalah perilaku gerak yang cenderung muncul dengan otomatis tanpa dilatih, dan dalam rangkaian yang dapat diperkirakan. Perilaku tersebut berupa menggapai, memegang, berjalan, dan berlari, yang nampaknya bertahan dari pengaruh-pengaruh lingkungan. Keterampilan ontogenetik adalah perilaku yang dipengaruhi oleh belajar dari lingkungan seperti berenang, bersepeda, bersepatu roda, dan lain-lain.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>Dorongan Dasar Anak-Anak</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dorongan dasar adalah suatu keinginan untuk melakukan dan menghasilkan sesuatu. Semua anak memiliki perasaan seperti ini yang kemungkinan besar merupakan sifat turunan atau pengaruh lingkungan. Dorongan dasar ini dikaitkan dengan pengaruh masyarakat, guru, orangtua, dan teman-teman sendiri. Biasanya dorongan dasar ini akan berpola sama pada setiap anak dan tidak dipengaruhi oleh faktor kematangan. Dorongan tersebut niscaya mengarahkan pengembangan kurikulum pendidikan jasmani dan untuk menciptakan program yang sesuai dengan sifat-sifat anak. Berikut ini akan dibahas secara selintas tentang dorongan-dorongan tersebut.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>a. Dorongan untuk Bergerak</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Anak-anak tak pernah puas untuk bergerak, tampil, dan aktif. Mereka berlari semata-mata karena menyukai dan menikmati lari itu. Keaktifan merupakan bagian dari hidup anak-anak. Program pendidikan jasmani karenanya harus memuaskan kehausan anak-anak untuk bergerak.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><em><span>b. Dorongan untuk Berhasil dan Mendapat Pengakuan</span></em></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Anak-anak tidak hanya berambisi untuk berprestasi, tetapi mereka juga menginginkan prestasi mereka itu diakui. Mereka lesu ketika mendapat kritikan dan celaan. Sedangkan dorongan dan dukungan yang hangat akan meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan yang maksimum. Kegagalan dapat mengarah pada rasa frustasi dan hilangnya minat belajar. Karena itu pengalaman berhasil pada anak perlu diperbanyak agar mereka tidak kehilangan minat untuk belajar.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><em><span>c. Dorongan untuk Mendapatkan Pengakuan Teman dan Masyarakat</span></em></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Penerimaan kawan sekelas adalah kebutuhan dasar manusia. Anak-anak menginginkan diterima oleh kawan-kawannya, dihormati, dan disukai. Lingkungan sekolah harus memberi jalan agar anak memperoleh penerimaan dari kawan-kawannya. Belajar bekerjasama dengan yang lain, menjadi anggota kelompok yang mampu menyumbang sesuatu, dan berbagi andil dengan kawan dalam suatu prestasi merupakan nilai penting dari program penjas.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><em><span>d. Dorongan untuk Bekerjasama dan Bersaing</span></em></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Anak-anak menikmati suasana bermain dan bekerjasama dengan anak lain. Mereka menemukan kepuasannya ketika menyadari bahwa peranannya dianggap penting dalam suatu kelompok. Ia merasa sedih ketika mengalami penolakan dari kawan-kawannya. Bekerjasama harus diajarkan terlebih dahulu sebelum pengalaman bersaing. Kegembiraan menjadi bagian suatu kelompok akan lebih besar manfaatnya daripada persaingan dengan kawan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Namun demikian, dorongan untuk bersaing juga merupakan bukti nyata dari kehidupan anak-anak, sebab mereka ingin membandingkan keterampilan fisik dan kekuatannya di antara sesama temannya. Biasanya anak akan memiliki keinginan untuk bersaing jika mereka berpikir bahwa mereka memiliki peluang untuk menang. Jika anak-anak tidak mempunyai peluang untuk menang, suasana kompetitif akan hilang. Karena itu suasana bersaing yang wajar dan sepadan dengan kemajuan anak harus diciptakan dan dimonitor.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><em><span>e. Dorongan untuk Kebugaran Fisik dan Daya Tarik</span></em></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Guru harus menyadari betapa besarnya keinginan anak untuk memiliki kebugaran jasmani dan memiliki tubuh yang lincah dan menarik. Oleh karenanya guru harus memaklumi perasaan direndahkan yang diderita anak-anak yang lemah, gemuk, pincang, atau tidak normal dalam beberapa hal. Program penjas harus menyediakan kesempatan untuk perbaikan-diri sehingga anak-anak dapat mengatasi kekurangannya dalam kekuatan, keterampilan, atau postur tubuhnya. Guru harus memonitor sistem penghargaan secara hati-hati sehingga tidak menyinggung anak-anak yang kurang mampu.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><em><span>f. Dorongan untuk Bertualang</span></em></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dorongan untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang bersifat petualangan atau sesuatu yang tidak biasa, mendorong anak untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang baru. Guru harus memberi tempat kepada kegiatan yang bersifat petualangan atau sesuatu yang tidak biasa, mendorong anak untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang baru. Guru harus memberi tempat kepada kegiatan-kegiatan yang menarik dalam kurikulum. Ini akan memberikan kecenderungan positif kepada anak untuk meningkatkan kegembiraan anak.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><em><span>g. Dorongan untuk Kepuasan Kreatif</span></em></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Anak-anak suka mencoba sesuatu cara yang berbeda-beda, bereksperimen dengan benda-benda yang berbeda, dan menggali berbagai hal yang dapat mereka lakukan secara kreatif. Menemukan cara yang berbeda untuk mengekspresikan dirinya sendiri secara fisik dapat memuaskan dorongan kreatif.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><em><span>h. Dorongan untuk Menikmati Irama</span></em></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Semua anak laki-laki dan perempuan dapat menikmati irama. Irama mengandung gerak dan anak memang suka bergerak. Program penjas harus menyediakan berbagai kegiatan berirama yang dapat dipelajari semua anak dengan cukup baik untuk memenuhi kebutuhannya. Pengajaran irama melalui penggunaan instrumen sederhana seperti dengan tepuk tangan atau ketukan pada lantai hingga penggunaan instrumen musik seperti tambur atau musik langsung dari tape recorder (perekam pita) akan mempebesar kegembiraan anak dalam meningkatkan penguasaan iramanya. Guru penjas di Indonesia biasanya kurang menyadari kecenderungan ini. Bahkan lebih sering diabaikan keharusan mengajar penguasaan irama gerak pada anak-anaknya. Yang sering dilakukan adalah mengajak anak-anak melakukan SKJ (Senam Kesegaran Jasmani) secara berulang-ulang sepanjang tahun yang hanya menawarkan irama yang monoton, sehingga anak kurang mengalami irama yang bervariasi.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><em><span>i. Dorongan untuk Mengetahui</span></em></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Anak-anak bersifat ingin tahu. Mereka berminat untuk mengetahui bukan hanya tentang apa yang sedang mereka kerjakan, tetapi juga mengapa mereka mengerjakannya. Mengetahui ‘mengapa’ tentang sesuatu hal merupakan dorongan yang kuat bagi mereka. Alangkah baiknya jika guru mampu memuaskan keingintahuan mereka dengan cara menerangkan ‘mengapa’ serta apa manfaat dari program pendidikan jasmani.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>B. Model Orientasi Kurikulum dalam Pendidikan Jasmani</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Persoalan konflik antar makna pendidikan jasmani dan pendidikan olahraga perlu diselesaikan. Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Yang berbeda adalah dalam hal pemahaman. Keduanya sebenarnya mengandung fungsi mendidik. Penyelenggaraan pendidikan jasmani bisa berbeda karena berbeda dalam rancangan kurikulumnya. Di negara maju, pendidikan jasmani dilaksanakan dengan berorientasi pada model-model kurikulum yang berlaku. Model kurikulum inilah yang menentukan perbedaan tekanan terhadap program yang dilaksanakan, apakah berorientasi pada peningkatan kesegaran jasmani atau keterampilan gerak, misalnya. Untuk memperjelas perbedaannya, mari kita simak model kurikulum sebagai berikut:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>• pendidikan gerak (movement education)<br />
• pendidikan olahraga (sport education)<br />
• pendidikan petualangan (adventure education)<br />
• pendidikan perkembangan (developmental education)<br />
• pendidikan kebugaran (fitness education)<br />
• pendidikan disiplin keilmuan olahraga (kinesiological studies)</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span>Pendidikan Gerak</span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan gerak (movement education) menekankan pendidikan lewat gerak yang mula-mula dikem- bangkan oleh Rudolph Laban di Inggris. Laban mengembangkan konsep-konsep gerak yang berkaitan dengan ruang dan waktu sebagai bahan untuk pengembangan gerak-gerak tari. Aliran Laban akhirnya dibawa ke Amerika Serikat dan diadopsi sebagai program pendidikan jasmani.<br />
Lewat pendidikan gerak, keterampilan gerak anak dikembangkan melalui pelaksanaan yang bervariasi, dikaitkan dengan ruang, waktu, arah serta tingkat ketinggian di mana gerakan dilakukan. Di sini tidak ada istilah benar atau salah. Anak-anak akan lebih menguasai pergerakan tubuhnya disertai pengertiannya. Dengan demikian diharapkan siswa menguasai tubuhnya dan mampu mengembangkan kapasitas fisik dan mentalnya untuk belajar, baik keterampilan fisik maupun keterampilan akademis. Model ini cocok dikembangkan di SD.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span>Pendidikan olahraga</span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Ada kesalahpahaman bahwa pendidikan jasmani sama dengan pendidikan olahraga. Keduanya berbeda, pendidikan jasmani lebih menekankan pada pengembangan keterampilan motorik dasar dan memperkaya perbendaharaan gerak. Pendidikan olahraga menekankan pada pembinaan keterampilan berolahraga dan menghayati nilai-nilai yang diperoleh dari kegiatan berlatih dan bertanding. Semua anak dibekali pengalaman nyata untuk berperan dalam pembinaan olahraga, seperti wasit, atlet, atau pelatih. Dalam arti itulah pendidikan olahraga di Amerika Serikat, misalnya, menyandang misi kependidikan yang lengkap.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Jika program penjas di Indonesia masih berwarna pendidikan olahraga seperti sekarang ini, maka kecenderungan ini hanyalah masalah orientasi model kurikulum yang dianut seperti maksud di atas. Sayangnya kecenderungan di Indonesia, penggunaan model ini tidak menyebabkan anak dibekali dengan pengalaman berolahraga yang sebenarnya, karena programnya amat terbatas.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span>Pendidikan perkembangan</span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Model pendidikan perkembangan memfokuskan tujuan pendidikannya pada aktualisasi diri, yang menekankan pertumbuhan pribadi dari setiap anak. Kurikulumnya dikembangkan berdasarkan tingkat perkembangan anak, yang berusaha menyeimbangkan penekanan pada ranah kognitif, afektif dan psikomotor.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani yang berorientasi pada developmental education mengarahkan kegiatan anak melalui pemenuhan kebutuhan keterampilan pada diri anak. Disesuaikan dengan tahap perkembangan fisik dan mentalnya, setiap kelompok anak diarahkan pada keterampilan gerak yang dibutuhkan anak. Misalnya, bagi anak usia di bawah lima tahun, perlu dikembangkan kemampuan pengaturan tubuhnya dan bagi anak usia di atasnya perlu dikembangkan keterampilan dasarnya. Sementara bagi anak yang lebih dewasa diarahkan pada keterampilan – keterampilan khususnya, seperti yang dikembangkan dalam cabang-cabang olahraga tertentu.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span>Pendidikan petualangan</span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan petualangan (Adventure education) dikembangkan atas dasar kebutuhan untuk mengatasi tekanan-tekanan hidup yang semakin berat. Programnya berisi kegiatan yang menantang di alam bebas dan disesuaikan dengan kebutuhan para remaja untuk bertualang mengatasi resiko dan perjuangan melawan tantangan alam. Mendaki gunung, menyusuri sungai, berkemah, memanjat tebing, dan variasi lain di alam terbuka merupakan contoh program pendidikan petualangan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span>Pendidikan kebugaran</span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Sekolah memang bisa menekankan orientasinya pada pengembangan kebugaran murid-muridnya. Program pendidikan jasmani seperti itu mengarahkan anak supaya aktif berlatih di sekolah dan di luar sekolah untuk hidup sehat dan memiliki kemampuan fisik yang baik. Pelaksanaan senam kebugaran jasmani (SKJ) merupakan contoh dari program pendidikan kebugaran. Persoalannya adalah mungkin frekuensi dan isi latihannya perlu ditingkatkan, karena hanya bersandar pada SKJ yang ada sekarang ini, unsur kekuatan, kelentukan, serta power anak tidak akan berkembang maksimal.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span>Kinesiological Studies</span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Model studi kinesiologi pada hakikatnya hampir sama dengan model pendidikan gerak dalam orientasi nilainya, tetapi menggunakan kegiatan gerak untuk mempelajari dasar-dasar disiplin gerak manusia (misalnya fisiologi latihan, biomekanika, dan kinesiologi). Karena itu, model inipun disebut juga sebagai pendidikan disiplin keilmuan olahraga.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Penekanan pembelajaran model ini adalah pada pengembangan keterampilan memecahkan masalah, khususnya dengan menggunakan kombinasi antara pembelajaran konsep dan prakteknya di lapangan. Tujuan utamanya adalah menumbuhkan dan mengembangkan pemahaman kognitif tentang bagaimana dan mengapa suatu keterampilan gerak berlangsung demikian. Model ini didasari dua pendekatan yang khas dalam studi kinesiologi, yaitu pendekatan pertama, isi atau materi diatur dalam sebuah unit-unit kegiatan, dan konsep-konsep disiplin utama diintegrasikan dengan pengajaran keterampilan; pendekatan kedua, unit-unit kegiatan diatur di sekitar konsep-konsep khusus yang menjadi prioritas di atas pengajaran keterampilan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pemakaian model ini umumnya dipilih oleh guru-guru penjas di tingkat sekolah menengah. Meskipun banyak sekolah menengah telah memasukkan satu atau dua unit konsep dalam kurikulumnya, khusus dipadukan dengan sehat-bugar-jasmani, sedikit sekali sekolah yang hanya memakai model kinesiologi secara tunggal. Tetapi tidak ada salahnya model inipun sudah mulai diperkenalkan di SD dengan persoalan prinsip gerak yang disederhanakan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>C. Ruang Lingkup Pendidikan Jasmani</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Setelah dibahas tentang dasar-dasar pertimbangan sebagai pedoman untuk menyusun program pendidikan jasmani di SD, ruang lingkup pendidikan jasmani dapat ditentukan. Namun demikian uraian tentang ruang lingkup ini dibatasi dan sifatnya masih umum<br />
Berdasarkan pola pertumbuhan dan perkembangan anak serta berbagai karakteristiknya, maka dapat ditentukan program di tingkat SD sebagai berikut:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>1. Kemampuan pengelolaan tubuh.</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Kemampuan pengelolaan tubuh merupakan kemampuan paling dasar yang dikuasai anak bersamaan dengan berkembangnya pengetahuan tentang tubuhnya. Termasuk di dalamnya adalah kesadaran tubuh dan geraknya. Ke dalam bagian ini dapat dirinci hal-hal khusus seperti:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span>a. Kesadaran tubuh</span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Kesadaran tubuh menunjuk pada kemampuan untuk mengenal nama-nama bagian tubuh yang bermacam-macam serta kemampuan untuk mengontrol setiap bagian tersebut secara terpisah. Bagian-bagian tubuh tersebut melibatkan tiga wilayah meliputi:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>(1) wilayah kepala: dahi, muka, pipi, alis, hidung, mulut, telinga, rahang, dagu, mata, dan rambut;<br />
(2) wilayah badan bagian atas: leher, bahu, dada, perut, lengan, tangan, siku, pergelangan, telapak, dan jari-jari; dan<br />
(3) wilayah badan bagian bawah: pinggang, pinggul, pantat, paha, lutut, betis, pergelangan kaki, punggung kaki, tumit, bola-bola kaki dan jari-jari.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span>b. Kesadaran ruang</span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Kemampuan kesadaran ruang menunjuk pada posisi tubuh dikaitkan dengan ruang sekelilingnya. Ini merupakan dasar dalam perkembangan kemampuan gerak-perseptual anak. Yang dimaksud gerak perseptual adalah gerak yang dihasilkan oleh kemampuan siswa untuk mengindera rangsangan dan menentukan gerak yang sesuai untuk menjawab rangsang itu. Dalam hal ini anak akan mengenal ruangnya sendiri, ruang secara umum, arah gerak, jalur gerak, tingkatan, serta jarak.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><em><span>c. Kualitas gerak</span></em></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Anak mengembangkan kemampuan geraknya dikaitkan dengan kualitas kesadarannya tentang geraknya sendiri. Ini sebenarnya menunjuk pada tingkat penguasaan anak terhadap dirinya sendiri dikaitkan dengan ruang di luar dirinya. Dalam wilayah ini anak akan berhubungan dengan kemampuan untuk menciptakan daya (force), menyerap tenaga, mengatur keseimbangan, mengatur jarak, kecepatan, serta aliran gerak.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>2. Keterampilan-keterampilan Dasar</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Keterampilan dasar adalah bentuk keterampilan yang bermanfaat dan dibutuhkan anak dalam kehidupannya sehari-hari. Keterampilan ini merupakan ciri pelengkap yang penting untuk anak-anak untuk berfungsi dalam lingkungannya, sehingga disebut sebagai keterampilan fungsional. Untuk kemudahan pembahasannya, dalam modul ini, keterampilan dasar di bagi ke dalam tiga bagian:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span><span>a.<span> </span></span></span><span>Keterampilan lokomotor, yaitu keterampilan yang digunakan untuk menggerakkan atau memindahkan posisi tubuh dari satu tempat ke tempat lainnya. Termasuk ke dalam keterampilan ini adalah berjalan, berlari, melompat, hop (jingkat), berderap, skip, slide, dan lain-lain.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span><span>b.<span> </span></span></span><span>Keterampilan non-lokomotor, yaitu keterampilan di tempat yang dilakukan tanpa memindahkan tubuh dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini meliputi membengkok, merentang, memilin, memutar, mengayun, menggoyang, mengangkat, mendorong, menarik, memantulkan, merendahkan tubuh, dan lain-lain.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span><span>c.<span> </span></span></span><span>Keterampilan manipulatif, yaitu keterampilan yang melibatkan kemampuan anak untuk menggunakan bagian-bagian tubuhnya seperti tangan dan kaki untuk memanipulasi benda di luar dirinya. Dalam pelaksanaannya keterampilan ini melibatkan koordinasi mata-tangan serta mata-kaki. Ke dalamnya termasuk keterampilan seperti melempar, menangkap, memukul bola, memukul dengan raket atau pemukul, menggiring bola (baik tangan atau kaki), dsb.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>3. Keterampilan-keterampilan khusus yang terspesialisasi</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Keterampilan yang terspesialisasi adalah keterampilan yang digunakan dalam berbagai cabang olahraga dan wilayah pendidikan jasmani lainnya. Keterampilan ini meliputi kegiatan dengan peralatan (misalnya senam alat), gerakan-gerakan akrobatik, tari-tarian, serta permainan khusus atau formal seperti sepak bola, bola voli, bola basket, dan lain-lain.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>D. Arah Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Jasmani</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Setelah mengetahui ruang lingkup dari pendidikan jasmani, selanjutnya guru harus mampu melihat dan menetapkan arah serta sasaran yang akan dikembangkan. Pedoman umum tentang arah dan sasaran ini diuraikan secara garis besar dalam bentuk lima tujuan perubahan yang harus terjadi pada anak didik. Kelima tujuan tersebut adalah sebagai berikut:</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>1. Murid menjadi sadar akan potensi geraknya.</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pembelajaran dalam pendidikan jasmani harus mampu membangkitkan minat anak untuk menggali potensinya dalam hal gerak. Karena itu anak harus diberi dorongan untuk terus menerus menjelajahi kemampuan-kemampuannya. Tugas ini tidak mudah dan hasilnya tidak segera. Dari pertemuan ke pertemuan, mungkin guru hanya akan melihat kemajuan yang lambat, tersendat-sendat, serta seolah berjalan di tempat.<br />
Memang itulah yang harus disadari oleh semua guru penjas. Tidak ada kemajuan dalam hal belajar gerak yang bersifat kejutan. Semua kemajuan mengikuti pola yang teratur. Jangan mengharapkan keajaiban. Harus sabar dan bersikap optimis bahwa murid kita akan mencapai kemajuan. Bila tiba waktunya, jangan kaget jika tiba-tiba guru sadar anak-anak sudah bertambah tinggi dan besar serta semakin terampil gerakannya. Itulah upah dari kesabaran guru dalam mendidik anak. Disitulah guru akan merasakan betapa mulianya tugas guru penjas.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Di pihak lain, sebagai guru kita harus maklum bahwa setiap murid memiliki kekhasannya masing-masing. Ada yang masuk ke kelas dengan bekal seperangkat pengalaman yang memadai dan ada pula yang tidak membawa bekal sama sekali. Artinya, ada anak yang kelihatan mudah dalam mempelajari gerak-gerak tertentu, sementara yang lainnya menemui kesulitan. Ada anak yang gigih ingin bisa, ada juga anak yang mudah menyerah. Perbedaan individual dalam hal kematangan dan pengalaman masa lalunya, menyebabkan kita sulit untuk menyeragamkan kecepatan kemajuan anak-anak dalam hal belajar gerak.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Keluhan-keluhan seperti “saya tidak bisa” atau “ saya tidak berbakat” dan ucapan sejenis lainnya akan sering terdengar dari mulut anak-anak. Bahkan ada anak yang belum mencoba sekalipun sudah mengatakan tidak mau melakukan, karena dia yakin tidak akan berhasil. Bagaimanakah guru seharusnya menghadapi kasus serupa itu? Tentu jawaban dan cara guru harus benar-benar tepat agar tidak kian ‘membenamkan’ anak dalam citra rendah diri yang dibuatnya sendiri. Tanamkan kesadaran pada anak-anak bahwa mempelajari keterampilan dan gerak, bukanlah proses yang tergesa-gesa. Sebab diperlukan waktu dan usaha yang tidak sebentar untuk menguasai sesuatu. Yang penting jangan cepat menyerah. Ungkapan guru seperti, “cobalah lakukan lagi. Kamu bukan tidak bisa, tapi belum bisa”, adalah salah satu ungkapan yang bisa membesarkan hati anak.<br />
Perbedaan anak-anak tersebut harus membuat guru penjas menjadi lebih arif dalam menentukan tugas bagi masing-masing anak. Jangan sampai anak diberi tugas yang seragam dengan kriteria keberhasilan yang sama bagi semua orang. Kenali kemampuan murid, baik per kelompok maupun perorang, agar penentuan tugas mereka bisa disesuaikan. Dengan cara itu anak akan merasa bahwa guru memang mendorong semua siswa untuk mau dan mampu belajar.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>2. Murid dapat bergerak dan tampil baik secara meyakinkan</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Ketika murid terlibat dalam proses pembelajaran, mereka harus merasakan adanya ‘perasaan mampu’, lancar, dan tidak tersendat-sendat. Perasaan demikian hadir dari adanya rasa aman selama mereka mulai belajar hingga menguasai suatu ketersampilan. Rasa aman tadi, tentu tidak timbul sendiri, tetapi merupakan kondisi yang selalu diciptakan oleh guru. Bagaimana rasa aman bisa timbul dalam pembelajaran penjas?<br />
Rasa aman akan timbul dari situasi belajar yang menyenangkan dan jauh dari keadaan yang menekan dan menegangkan. Keadaan demikian bisa timbul dari tindak tanduk guru yang memang santun, tidak memalukan murid, serta usahanya yang sungguh-sungguh untuk menciptakan lingkungan yang aman. Dalam hal ini, bukan berarti bahwa guru tidak boleh tegas. Guru harus tegas tapi “hangat” dalam pendekatannya, terutama dalam menerapkan peraturan-peraturan yang mendukung terciptanya lingkungan yang aman tadi. Lingkungan pembelajaran yang aman akan mendukung kesungguhan dan kemauan anak untuk mempelajari keterampilan hingga taraf penguasaan tertinggi. Anak akan merasa bersemangat untuk terus berlatih, baik secara mandiri maupun berkelompok, sehingga anak merasa yakin untuk menguasai keterampilan yang bisa diandalkan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Penguasaan yang baik pada keterampilan tertentu akan menumbuhkan hormat diri dan kepercayaan diri anak. Ini timbul dari rasa nyaman ketika menyadari dirinya memiliki kemampuan, serta timbul dari pengakuan guru dan teman-temannya. Karena itu penekanan pada timbulnya ‘perasaan sukses’ ini harus diupayakan oleh guru dengan cara menetapkan tingkat kesulitan tugas yang sesuai bagi setiap anak.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Untuk menciptakan suasana belajar seperti itu guru perlu membedakan tahapan pembelajaran yang akan dilalui anak. Pada tahap awal, guru harus membantu anak; agar mampu memusatkan diri pada proses, bukan pada hasil. Sedangkan pada tahap selanjutnya, guru harus siap untuk meningkatkan taraf kesulitan keterampilan yang sedang dipelajari, sehingga tingkat kemampuan (kompetensi) dan kepercayaan diri anak turut meningkat pula. Penyajian bahan pelajaran secara bertahap sangat dianjurkan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>3. Murid mengerti dan mampu menerapkan konsep-konsep gerak yang mendasar</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Keterampilan dalam berbagai cabang olahraga memiliki struktur tersendiri, lengkap dengan konsep dan prinsip yang mendasarinya. Memahami konsep-konsep itu merupakan syarat untuk menguasai keterampilan yang dipelajari. Semakin terkuasai konsepnya, semakin mudah suatu keterampilan dikuasai.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pelajaran pendidikan jasmani adalah salah satu tempat untuk meningkatkan kemampuan pemahaman anak terhadap berbagai konsep dasar keterampilan gerak. Kemampuan pemahaman ini akan menjadi bekal yang sangat berguna bagi siswa untuk menjadi ‘pembelajar’ dalam banyak cabang olahraga ketika mereka menjadi dewasa kelak. Bahkan kemampuan ini dapat ditransfer untuk memahami bidang lain.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Untuk mendukung tujuan tersebut pelajaran pendidikan jasmani harus mampu memberikan kesempatan kepada anak untuk memahami konsep dasar dari berbagai keterampilan yang dipelajarinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Metode dan pendekatan yang digunakan oleh guru juga amat menentukan. Penelitian dalam bidang pedagogi olahraga (sport pedagogy) tentang pendekatan induktif, metode pemecahan masalah dan diskoveri terbukti efektif untuk meningkatkan kemampuan anak dalam pengembangan pengetahuan dan penalaran. Pengantar dan dialog yang bersifat terbuka, terbukti dapat memicu keinginan anak untuk turut menyumbang saran dan pendapat yang berguna dalam melatih keberanian anak angkat bicara. Karena itu, guru penjas perlu membiasakan murid dengan acara dialog. Guru hendaknya melatih anak untuk mau bertanya dan bicara mengemukakan pendapatnya, serta jawaban guru harus mencerminkan bahwa pertanyaan tersebut dianggap berharga. Coba Anda bayangkan bagaimana perasaan murid ketika ia bertanya guru malah memperlihatkan muka galak dan menjawab : “Makanya kalau guru ngomong dengarkan. Telinganya dipasang baik-baik, supaya tidak masuk telinga kanan, keluar telinga kiri…..!”</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Memang anak tidak selamanya mendengarkan dengan baik. Itu perlu diingatkan. Tetapi cara mengingatkan anak supaya menjadi pendengar yang baik dan menghargai orang yang bicara, bukan dengan pendekatan keras seperti di atas. Bukan saja anak merasa sakit hati dan rendah diri dengan jawaban guru tadi, tapi juga membuat anak-anak yang lainnya tidak berani mengajukan pertanyaan.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>4. Murid menjadi orang yang serba bisa dalam gerak</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Guru tentu harus melihat bahwa murid bisa mempelajari apa saja yang diperlukannya dalam hal keterampilan gerak. Adalah tindakan tidak bertanggung jawab jika seorang guru cenderung membatasi keterampilan yang harus dikuasai oleh murid-muridnya. Jangan mentang-mentang guru hanya menyukai sepakbola lalu hanya mengajar sepakbola sepanjang tahun. Ini jelas akan merugikan anak. Guru penjas harus mampu melihat keterampilan dasar serta pola gerak dominan yang mendasari suatu cabang olahraga atau suatu permainan. Keterampilan dasar serta pola gerak dominan itulah yang seharusnya ditekankan oleh guru untuk dipelajari oleh anak secara memadai. Alokasikan waktu yang cukup bagi anak untuk mempelajari berbagai keterampilan gerak dasar sehingga membangun suatu dasar yang kuat dan luas bagi peningkatan keterampilan berikutnya.<br />
Memperkaya khasanah gerak anak dalam setiap pembelajaran penjas merupakan tugas prioritas bagi guru penjas, agar kelak anak mempunyai dasar keterampilan yang lengkap untuk memperdalam olahraga apapun. Kalau dasarnya baik, anak akan menjadi orang yang serba bisa dalam bidang olahraga.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>5. Murid menghargai olahraga yang menyehatkan</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dalam pembelajaran pendidikan jasmanilah murid harus belajar menyadari hubungan antara kegiatan yang teratur dengan timbulnya perasaan nyaman dan sehat. Dengan kegiatan tersebut murid harus menyadari bahwa dirinya lebih tahan terhadap serangan penyakit dan pengaruh stress. Dengan kesadaran tersebut diharapkan murid selanjutnya akan menghargai kegiatan olahraga sebagai sesuatu yang bermanfaat dan akan memilih mengisi waktu-waktu luangnya di luar sekolah dengan kegiatan yang aktif. Karena itu proses yang ditawarkan guru penjas lewat programnya harus menyebabkan anak mencintai kegiatan pendidikan jasmani dan olahraga, serta memberikan dasar yang baik bagi kegiatan yang sama di jenjang pendidikan berikutnya dan di masa dewasanya. Hal ini memang tidak mudah, tapi harus diupayakan secara sengaja oleh guru penjas.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><strong><span>E. Arah Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Jasmani Bagi Anak Luar Biasa</span></strong></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani untuk siswa sekolah luar biasa dan siswa berkelainan telah menjadi prioritas dalam program pendidikan nasional kita. Ini menunjukkan bahwa pemerintah telah menaruh perhatian yang lebih besar kepada para penyandang kelainan, bukan saja yang berada di lingkungan sekolah, tetapi yang berada di lingkungan pendidikan non-formal lainnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pada kenyataannya, para siswa penyandang kelainan memiliki kebutuhan yang lebih besar akan gerak. Seperti diakui oleh para ahli, justru pendidikan jasmani harus merupakan program utama dari program pendidikan luar biasa secara keseluruhan, karena menjadi dasar atau fundasi bagi peningkatan fungsi tubuh yang sangat diperlukan oleh anak-anak berkebutuhan khusus.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Pendidikan jasmani dapat memberikan sumbangan yang sangat bermakna kepada para siswa luar biasa. Agar sumbangan tersebut dapat diwujudkan, itu berarti bahwa kurikulum harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan individual siswa. Guru pendidikan jasmani perlu menguasai informasi atau pengetahuan yang berkaitan dengan persoalan medis yang berlaku pada siswa luar biasa. Programnya harus spesifik dan keterampilan gerak harus diajarkan dalam pola-pola perkembangan yang baik, yang bermula dari gerak yang paling sederhana dan bertahap maju ke keterampilan yang lebih kompleks.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Guru pendidikan jasmani perlu mengakui bahwa aspek psikologis dari situasi kelas sama dan bahkan lebih penting daripada tujuan-tujuan substantif pendidikan jasmani. Di samping itu, untuk mampu menjaga motivasi anak tetap tinggi, guru perlu memiliki cara-cara yang kreatif dalam pengajaran. Guru pendidikan jasmani harus menanamkan pada dirinya sendiri tujuan dan keinginan untuk membantu siswa dalam mengembangkan citra diri positif, mengembangkan hubungan interpersonal yang efektif, memahami dan menghargai kelebihan dan keterbatasan fisiknya, mengoreksi kondisi fisik khusus yang masih mungkin diperbaiki, mengembangkan suatu kesadaran keselamatan, dan menjadikan anak-anaknya bugar secara fisik sesuai dengan kapasitasnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span> <hr size="2" /></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>DAFTAR PUSTAKA</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span><br />
Bucher, Charles A. (1979).</span><span> </span><em><span>Foundations of Physical Education</span></em><span>, (8th Ed.), St. Louis, MI., Mosby Company.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Buscher, Craig A. (1994).</span><span> </span><em><span>Teaching Children Movement Concepts and Skills, Champaign, III.</span></em><span> </span><span>: Human Kinetics Publisher, Inc.,</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Dauer, V., & Pangrazi, R. (1986).</span><span> </span><em><span>Dynamic Physical Education For Elementary School Children</span></em><span>, (8th Ed.), New York: Macmillan</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Freeman, William H. (2001).</span><span> </span><em><span>Physical Education and Sport in A Changing Society</span></em><span>. (Sixth Ed.). Boston. Allyn and Bacon.<br />
Gabbard, Carl., LeBlanc, Betty., and Lowy, Susan. (1994). Physical Education for Children: Building the Foundation, (2nd Ed.), New Jersey: Prentice Hall.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Graham, G. (1992).</span><span> </span><em><span>Teaching Children Physical Education, Becoming Master Teacher, Champaign, III</span></em><span>. : Human Kinetics Publisher, Inc.,</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Kogan, Sheila. (1982).</span><span> </span><em><span>Step By Step: A Complete Movement Education Curriculum From Preschol to 6th Grade</span></em><span>, California: Front Row Experience.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Malina, R., & Bouchard, C. (1978)</span><span> </span><em><span>Growth, Maturation and Physical Activity, Champaign, III</span></em><span>: Human Kinetic Publisher, Inc.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Siendtop, D. (1991).</span><span> </span><em><span>Developing Teaching Skill in Physical Education</span></em><span>, 3rd Ed., Palo Alto, CA: Mayfield.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span>Tinning, R., Mcdonald, D., Wright, J., and Hickey, C. (2001).</span><span> </span><em><span>Becoming Physical Education Teacher: Contemporary and Enduring Issues</span></em><span>. Frenchs Forest, NSW. Prentice Hall</span></div>IQBHALGREBYhttp://www.blogger.com/profile/08185068851376913850noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6261997499589906792.post-73700991468624644452010-08-18T00:52:00.000-07:002010-08-18T00:52:03.141-07:00Etika dan Moral Pendidikan Jamani menuju Olahraga Prestasi<b>A. Latar Belakang </b><br />
Pendidikan Jasmani merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, sehingga pendidikan jasmani memiliki arti yang cukup representatif dalam mengembangkan manusia dalam persiapannya menuju manusia Indonesia seutuhnya.<br />
Pendidikan jasmani di Indonesia memiliki tujuan kepada keselarasan antara tubuhnya badan dan perkembangan jiwa, dan merupakan suatu usaha untuk membuat bangsa indonesia yang sehat lahir dan batin, diberikan kepada segala jenis sekolah. (UU no 4 th 1950, ttg dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah bab IV pasal 9)<br />
Pendidikan jasmani mempunyai tujuan pendidikan sebagai (1) perkembangan organ-organ tubuh untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani, 2) perkembangan neuro muskuler, 3) perkembangan mental emosional, 4) perkembangan sosial dan 5) perkembangan intelektual.<br />
Tujuan akhir olahraga dan pendidikan jasmani terletak dalam peranannya sebagai wadah unik penyempurnaan watak, dan sebagai wahana untuk memiliki<br />
1Johansyah Lubis, Adalah Dosen Sosiokinetika, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Jakarta. Dan Ketua Komisi Pembibitan dan pemanduan Bakat KONI Pusat 2007 - 2011<br />
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 2<br />
dan membentuk kepribadian yang kuat, watak yang baik dan sifat yang mulia; hanya orang-orang yang memiliki kebajikan moral seperti inilah yang akan menjadi warga masyarakat yang berguna (Baron Piere de Coubertin)<br />
Uraian di atas memperjelas bahwa pendidikan jasmani dan olahraga merupakan ‘alat’ pendidikan, sekaligus pembudayaan. Proses ini merupakan sebuah syarat yang memungkinkan manusia mampu terus mempertahankan kelangsungan hidupnya sebagai manusia.<br />
Pendidikan adalah segenap upaya yang mempengaruhi pembinaan dan pembentukkan kepribadian, termasuk perubahan perilaku, karena itu pendidikan jasmani dan olahraga selalu melibatkan dimensi sosial, disamping kriteria yang bersifat fisikal yang menekankan ketrampilan, ketangkasan dan unjuk “kebolehan’. Dimensi sosial ini melibatkan hubungan antar orang, antar peserta didik sebagai sebagai fasilitator atau pengarah.<br />
Kondisi saat ini ketika masyarakat Indonesia menghadapi permasalahan perekonomian yang berkepanjangan, tidak terlepas dari etika dan moral bangsa yang sudah ‘bobrok’, budaya bangsa yang luhur mulai telah terkikis sedikit demi sedikit. Anak banyak yang tidak menghargai gurunya bahkan orang tuanya.<br />
Fenomena dalam pendidikan jasmani saat ini, banyak anak yang enggan mengikuti pelajaran pendidikan jasmani karena terkesan membosankan dan menjemukan.<br />
Masalah moral di Amerika menjadi salah satu isu pendidikan yang diangkat dalam membentuk manusia Amerika, mengingat orang Amerika pernah terkejut pada awal 1985 ketika mereka mengetahui bahwa pemenang medali cabang balap sepeda pada Olimpiade yang berasal dari USA mengakui telah mendoping darah sebelum kompetisi. Ditambah lagi 86 atlet Amerika dari berbagai cabang gagal melewati tes obat-obatan yang diadakan oleh Komite Olahraga Amerika Serikat, sembilan bulan sebelum pertandingan pada tahun 1984. Belum lagi kasus kematian pelari Belanda di Universitas Amerika membawa pada penemuan secara tidak sengaja tentang penggunaan secara<br />
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 3<br />
luas resep obat yang didapatkan secara ilegal oleh atlet mahasiswa, yang disuplai oleh pelatih kampus.<br />
Pendidikan jasmani dan olahraga adalah laboratorium bagi pengalaman manusia, karena dalam pendidikan jasmani menyediakan kesempatan untuk memperlihatkan mengembangan karakter. Pengajaran etika dalam pendidikan jasmani biasanya dengan contoh atau perilaku. Pengajar tidak baik berkata kepada muridnya untuk memperlakukan orang lain secara adil kalau dia tidak memperlakukan muridnya secara adil.<br />
Selain dari pada itu pendidikan jasmani dan olahraga begitu kaya akan pengalaman emosional. Aneka macam emosi terlibat di dalamnya. Kegiatan pendidikan jasmani dan olahraga yang berakar pada permainan, ketrampilan dan ketangkasan memerlukan pengerahan energi untuk menghasilkan yang terbaik.<br />
Pantas rasanya jika kita setuju untuk mengemukakan bahwa pendidikan jasmani dan olahraga merupakan dasar atau alat pendidikan dalam membentuk manusia seutuhnya, dalam pengembangan kemampuan cognitif, afektif dan psikomotor yang behavior dalam membentuk kemampuan manusia yang berwatak dan bermoral.<br />
Dalam tulisan ini akan lebih dibahas tentang etika dan permasalahan dalam pendidikan jasmani dan olahraga. Dengan mencoba mengkomperkan dan menanalisis serta memyusun rekomendasi yang memungkinkan dalam pengembangan pendidikan jasmani dan olahraga.<br />
<b> </b><br />
<b>B. Perumusan Masalah</b><br />
Berdasarkan latar belakang di atas, agar paper ini lebih mengarah maka pembahasan akan lebih di fokuskan pada :<br />
Bagaimana etika dalam pendidikan jasmani dan olahraga?<br />
Bagaimana pendidikan etika membentuk manusia secara utuh?<br />
Masalah tersebut akan dicoba dibahas dalam tulisan ini dari segi teori dan analisis penjasnya.<br />
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 4<br />
<b> </b><br />
<b>Hakikat Etika</b><br />
Istilah etika dan moral secara etimologis, kata ethics berasal dari kata Yunani, ethike yang berarti ilmu tentang moral atau karakter. Studi tentang etika itu secara khas sehubungan dengan prinsip kewajiban manusia atau studi tentang semua kualitas mental dan moral yang membedakan seseorang atau suku bangsa. Moral berasal dari kata Latin, mos dan dimaksudkan sebagai adat istiadat atau tata krama. (Rusli Lutan)<br />
Etika tidak mempunyai pretensi untuk secara langsung dapat membuat manusia menjadi lebih baik. Etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, dimana yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. (Franz Magnis Suseno,1989). Lebih lanjut dikatakan bahwa etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Untuk memahami etika, maka kita harus memahami moral.<br />
Selanjutnya Suseno mengatakan bahwa Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggung jawabab dan mau menyingkapkankan ke rancuan. Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral begitu saja melainkan menuntut agar pendapat-pendapat moral yang dikemukakan di pertanggung jawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral.<br />
Dalam etika mengembangkan diri, Orang hanya dapat menjadi manusia utuh kalau semua nilai atas jasmani tidak asing baginya, yaitu nilai-nilai kebenaran dan pengetahuan, kesosialan, tanggung jawab moral, estetis dan religius. Suatu usaha sangat berharga untuk menyusun nilai-nilai dan menjelaskan makna bagi manusia dilakukan oleh Max Scheler dikemukan sebagai berikut : Mengembangkan diri, Melepaskan diri, menerima diri<br />
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 5<br />
Freeman menyebutkan bahwa etika terkait dengan moral dan tingkah laku, menjelaskan aturan yang tepat tentang sikap. Etika merupakan pelajaran dari tingkah laku ideal dan pengetahuan antara yang baik dan buruk. Etika juga menggambarkan tindakan yang benar atau salah dan apa yang harus orang lakukan atau tidak. Etika penting karena merupakan kesepakatan pada kebiasan manusia, bagaimana modelnya, bagaimana ia menunjukkan dirinya sendiri, dengan segala sisi baik dan buruk.<br />
Scott Kretchmar mengemukakan etika mendasari tentang cara melihat dan mempromosikan kehidupan yang baik, tentang mendapatkannya, merayakannya dan menjaganya. Etika terkait dengan nilai-nilai pemeliharaan seperti kebenaran, pengetahuan, kesempurnaan, persahabatan dan banyak nilai-nilai lainnya. Etika juga mengenai rasa belas kasih dan simpati, tentang memastikan kehidupan baik berbagi dengan lainnya, etika terkait dengan kepedulian terhadap yang lain, terutama yang tidak punya kedudukan atau kekuatan yang diperlukan untuk melindungi diri mereka sendiri atau jalan mereka.<br />
<b> </b><br />
<b>Hakikat Moral</b><br />
Istilah moral dikaitkan dengan motif, maksud dan tujuan berbuat. Moral berkaitan dengan niat. Sedangkan etika adalah studi tentang moral. Sedangkan menurut Freeman etika terkait dengan moral dan tingkah laku. Lebih lanjut Scott Kretchmar menyatakan bahwa etika juga mengenai tentang rasa belas kasih dan simpati-tentang memastikan kehidupan yang baik berbagi dengan lainnya.<br />
Suseno mengatakan bahwa moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.<br />
Selanjutnya dikatakan bahwa ada norma-norma khusus yang hanya berlaku dalam bidang atau situasi khusus. Seperti bola tidak boleh disentuh oleh pemain sepakbola, bila permainan berhenti maka aturan itu sudah tidak berlaku.<br />
Norma diatas merupakan norma khusus, sedangkan norma umum ada tiga macam seperti : norma-norma sopan santun, norma-norma hukum dan norma-norma moral. Norma sopan santun menyangkut sikap lahiriah manusia. Namun sikap lahiriah sendiri tidak bersifat moral.<br />
Norma hukum adalah norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma hukum adalah norma yang tidak dibiarkan dilanggar, orang yang melanggar hukum, pasti akan dikenai hukuman sebagai sangsi. Tetapi norma hukum tidak sama dengan norma moral. Bisa terjadi bahwa demi tuntutan suara hati, demi kesadaran moral, orang harus melanggar hukum. Kalaupun dihukum, hal itu tidak berarti bahwa orang itu buruk. Hukum tidak dipakai untuk mengukur baik-buruknya seseorang sebagai manusia, melainkan untuk menjamin tertib umum. Norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang, maka dengan norma-norma moral kita betul-betul dinilai. Itulah sebab penilaian moral selalu berbobot.<br />
Perkembangan moral adalah proses, dan melalui proses itu seseorang mengadopsi nilai-nilai dan perilaku yang diterima oleh masyarakat (Bandura, 1977). Pada dasarnya seseorang yang konsisten menginternalisasi norma dipandang sebagai seseorang yang bermoral. Para ahli menerapkan apa yang disebut pendekatan “kantong kebajikan” (Kohlberg, 1981), teori ini percaya bahwa seseorang mencontoh perilaku orang lain sebagai model atau tauladan yang ia nilai memiliki sifat-sifat tertentu atau yang menunjukkan perilaku berlandasan nilai yang diharapkan.<br />
Untuk memahami moral Kohlberg (1981) dan Rest (1986) menyatakan bahwa pemahaman moral berpengaruh langsung terhadap motivasi dan perilaku namun memiliki hubungan yang tak begitu kuat. Hubungan erat pada empati, emosi, rasa bersalah, latar belakang sosial, pengalaman.<br />
Suseno melihat terdapat tiga prinsip dasar dalam moral, yaitu prinsip sikap baik, prinsip keadilan dan prinsip hormat terhadap diri sendiri.<br />
Prinsip sikap baik dimana prinsip ini mendahului dan mendasari semua prinsip moral lain, dimana sikap yang dituntut dari kita adalah jangan merugikan siapa saja. Prinsip bahwa kita harus mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat mungkin mencegah akibat buruk dari tindakan.<br />
Prinsip keadilan dimana keadilan tidak sama dengan sikap baik, demi menyelamatan gol dari serangan lawan, pemain belakang menahan dengan tangan, hal itu tetap tidak boleh dengan alasan apapun, berbuat baik dengan melanggar hak pihak lain tidak dibenarkan.<br />
Prinsip hormat terhadap diri sendiri mengatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri sebagai suatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan faham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, mahluk berakal budi.<br />
Bagaimana kita mengajarkan etika dan nilai moral<br />
Dalam mengajarkan etika dan nilai moral sebaiknya lebih bersifat contoh, pepatah mengatakan bahwa tindakan lebih baik baik dari kata-kata. Lutan mengatakan Nilai Moral itu beraneka macam, termasuk loyalitas, kebajikan, kehormatan, kebenaran, respek, keramahan, integritas, keadilan, kooperasi, tugas dll. Lebih lanjut dikatakan ada 4 nilai moral yang menjadi inti dan bersifat universal yaitu :<br />
1. Keadilan.<br />
Keadilan ada dalam beberapa bentuk ; distributif, prosedural, retributif dan kompensasi. Keadilan distributif berarti keadilan yang mencakup pembagian keuntungan dan beban secara relatif. Keadilan prosedural mencakup persepsi terhadap prosedur yang dinilai sportif atau fair dalam menentukan hasil. Keadilan retributif mencakup persepsi yang fair sehubungan dengan hukuman yang dijatuhkan bagi pelanggar hukum. Keadilan kompensasi mencakup persepsi mengenai kebaikan atau keuntungan yang diperoleh penderita atau yang diderita pada waktu sebelumnya.<br />
Seorang wasit bila ragu memutuskan apakah pemain penyerang berada pada posisi off-side dalam sepakbola, ia minta pendapat penjaga garis. Semua pemain penyerang akan protes, meskipun akhirnya harus dapat menerima, jika misalnya wasit dalam kasus lainnya memberikan hukuman tendangan penalti akibat pemain bertahana menyentuh bola dengan tanganya, atau sengaja menangkap bola di daerah penalti. Tentu saja ia berusaha berbuat seadil mungkin. Bila ia kurang yakin, mungkin cukup dengan memberikan hukuman berupa tendangan bebas.<br />
2. Kejujuran.<br />
Kejujuran dan kebajikan selalu terkait dengan kesan terpercaya, dan terpercaya selalu terkait dengan kesan tidak berdusta, menipu atau memperdaya. Hal ini terwujud dalam tindak dan perkataan.<br />
Semua pihak percaya bahwa wasit dapat mempertaruhkan integritasnya dengan membuat keputusan yang fair. Ia terpercaya karena keputusannya mencerminkan kejujuran.<br />
3. Tanggung Jawab.<br />
Tanggung jawab merupakan nilai moral penting dalam kehidupan bermasyarakat. Tanggung jawab ini adalah pertanggungan perbuatan sendiri. Seorang atlet harus bertanggung jawab kepada timnya, pelatihnya dan kepada permainan itu sendiri. Tanggung jawab ini merupakan nilai moral terpenting dalam olahraga.<br />
4. Kedamaian<br />
Kedamaian mengandung pengertian : a)tidak akan menganiaya, b)mencegah penganiayaan, c) menghilangkan penganiaan, dan d)berbuat baik. Bayangkan bila ada pelatih yang mengintrusksikan untuk mencederai lawan agar tidak mampu bermain?<br />
Freeman dalam buku Physical Education and Sport in A cahanging Society menyarankan 5 area dasar dari etika yang harus diberikan yaitu : 1) Keadilan dan persamaan, 2) Respek terhadap diri sendiri. 3) Respek dan pertimbangan terhadap yang lain, 4) Menghormati peraturan dan kewenangan , 5) Rasa terhadap perspektif atau nilai relatif. (Freeman,2001;210)<br />
1. Keadilan dan Persamaan<br />
Anak didik atau atlet adalah mengharapkan perlakuan yang adil dan sama. Anak didik ingin sebuah kesempatan untuk belajar yang sama. Seringkali anak didik yang di bawah rata-rata dalam olahraga diabaikan.<br />
2. Respek terhadap diri sendiri<br />
Pelajar atau atlet membutuhkan respek terhadap diri sendiri dan imej positif tentang dirinya untuk menjadi sukses. Pelatih dan pengajar yang melatih semua anak didiknya dengan sama mengambil langkah tepat dalam setiap arahnya agar anak didiknya merasa dirinya penting dan layak dimata pengajarnya.<br />
3. Rasa hormat dan kepedulian terhadap orang lain.<br />
Pelajar dan atlet membutuhkan rasa hormat kepada orang lain, apakah teman sekelasnya, lawan bertanding, guru ataupun pelatihnya. Mereka perlu belajar tentang bagaimana pentingnya memperlakukan orang lain dengan hormat.<br />
4. Menghormati peraturan dan kewenangan<br />
Pelajar dan atlet perlu menghormati kewenangan dan peraturan, karena tanpa kedua hal ini suatu perhimpunan tidak akan berfungsi<br />
5. Rasa terhadap perspektif atau nilai relatif<br />
Beberapa pertanyaan tentang gunanya berolahraga perlu dipertimbangkan diantaranya ; a) seberapa penting olahraga, b) apakah hubungan yang tepat antara olahraga dalam filosofi pendidikan kita?,c)Seberap penting suatu kemenangan dan d) apa yang menjadi integritas akademik kita?<br />
Pendidik jasmani dalam proses pendidikan sebaiknya mengembangkan karakter, karakter menurut David Shield dan Brenda Bredemeir adalah empat kebajikan dimana seseorang mempunyai karakter bagus menampilkan ; compassion (rasa belas kasih), fairness (keadilan), sportsmanship (ketangkasan) dan integritas.<br />
Dengan adanya rasa belas kasih, murid dapat diberi semangat untuk melihat lawan sebagai kawan dalam permainan, sama-sama bernilai, sama-sama patut menerima penghargaan. Keadilan melibatkan tidak keberpihakan, sama-sama tanggung jawab. Ketangkasan dalam olahraga melibatkan berusaha secara intens menuju sukses. Integritas memungkinkan seseorang untuk membuat kesalahan pada yang lain, sebagai contoh meskipun tindakannya negatif penerimannya oleh wasit, teman satu tim ataupun fans.<br />
<b> </b><br />
<b>Hakikat Olahraga dan Penjas</b><br />
Filsafat olahraga, seperti filsafat lainnya, dalam olahraga ada beberapa konsep yang perlu dikaji dan dipahami secara mendalam. Konsep ini bersifat abstrak yaitu ‘mental image’. Walau kita tahu bahwa konsep ini abstrak, tetapi didalam konsep ini ada makna tertentu, walau perbedaan makna pada setiap individu berbeda-beda tentang ini.<br />
Konsep dasar tentang keolahragaan beragam, seperti bermain (play), Pendidikan jasmani (Physical education), olahraga (Sport), rekreasi (recreation), tari (dance).<br />
Bermain (play) adalah fitrah manusia yang hakiki sebagai mahluk bermain (homo luden), bermain suatu kegiatan yang tidak berpretensi apa-apa, kecuali sebagai luapan ekspresi, pelampiasan ketegangan, atau peniruan peran. Dengan kata lain, aktivitas bermain dalam nuansa riang dan gembira.<br />
Dalam bermain terdapat unsur ketegangan, yang tidak lepas dari etika seperti semangat fair play yang sekaligus menguji ketangguhan, keberanian dan kejujuran pemain, walau tanpa wasitpun permainan anak-anak terlihat belum tercemar.<br />
Dalam bermain terdapat unsur ketegangan, yang tidak lepas dari etika seperti semangat fair play yang sekaligus menguji ketangguhan, keberanian dan kejujuran pemain, walau tanpa wasitpun permainan anak-anak terlihat menyenangkan dan gembira ini merupakan bentuk permainan yang belum tercemar.<br />
Dalam bermain pendidikan etika yang ada tidak mengenal pada suatu ajaran tertentu, karena anak bermain tidak melihat sisi religius teman dan bentuk permainan, karena tidak ada aturan dalam hal religus dalam bentuk permainan, pendidikan etika disini yang membetuk manusia yang baik dan kritis, sehingga proses pemberian pembelajarannya lebih bersifat mengembangkan daya pikir kritis dengan mengamati realitas kehidupan.<br />
Seperti melihat harimau, maka anak akan meniru gaya harimau yang menerkam mangsa, simangsa sudah tentu adalah teman sepermainnya. Temannya akan berjuang mempertahankan dengan bergelut.<br />
Bermain dalam alam anak memberikan konsep anak bertanggung jawab terhadap permainan tersebut. Ketika terjadi “perselisihan” maka tanggung jawab anak terhadap permainan ini membantu dalam pengembangan moralnya.<br />
Olahraga (sport) yang merupakan kegiatan otot yang energik dan dalam kegiatan itu atlet memperagakan kemampuan geraknya (performa) dan kemauannya semaksimal mungkin, akan tetapi perkembangan teknologi memungkinkan faktor mesin menjadi techno-sport, seperti balap mobil, balap motor, yang banyak tergantung dengan faktor mesin.<br />
Olahraga bersifat netral dan umum, tidak digunakan dalam pengertian olahraga kompetitif, karena pengertiannya bukan hanya sebagai himpunan aktivitas fisik yang resmi terorganisasi (formal) dan tidak resmi (informal).<br />
Pendidikan jasmani pada dasarnya bersifat universal, berakar pada pandangan klasik tentang kesatuan erat antara “body and mind”, Pendidikan jasmani adalah bagian integral dari pendidikan melalui aktivitas jasmani yang bertujuan untuk meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, intelektual dan emosional.<br />
Konsep pendidikan jasmani terfokus pada proses sosialisasi atau pembudayaan via aktifitas jasmani, permainan dan olahraga. Proses sosialisasi berarti pengalihan nilai-nilai budaya, perantaraan belajar merupakan pengalaman gerak yang bermakna dan memberi jaminan bagi partisipasi dan perkembangan seluruh aspek kepribadian peserta didik. Perubahan terjadi karena keterlibatan peserta didik sebagai aktor atau pelaku melalui pengalaman dan penghayatan secara langsung dalam pengalaman gerak sementara guru sebagai pendidik berperan sebagai “pengarah” agar kegiatan yang lebih bersifat pendeawsaan itu tidak meleset dari pencapaian tujuan.<br />
<b> </b><br />
<b>Pengajaran Etika dalam pendidikan jasmani</b><br />
Kita telah menyadari bahwa pendidikan jasmani dan olahraga adalah laboratorium bagi pengalaman manusia, oleh sebab itu guru pendidikan jasmani harus mencoba mengajarkan etika dan nilai dalam proses belajar mengajar, yang mengarah pada kesempatan untuk membentuk karakter anak.<br />
Karakter anak didik yang dimaksud tentunya tidak lepas dari karakter bangsa Indonesia serta kepribadian utuh anak, selain harus dilakukan oleh setiap orangtua dalam keluarga, juga dapat diupayakan melainkan pendidikan nilai di sekolah. Saran yang bisa diangkat yaitu :<br />
1. Seluruh suasana dan iklim di sekolah sendirii sebagai lingkungan sosial terdekat yang setiap hari dihadapi, selain di keluarga dan masyarakat luas, perlu mencerminkan penghargaan nyata terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang mau diperkenalkan dan ditumbuhkembangkan penghayatannya dalam diri peserta didik. Misalnya, kalau sekolah ingin menanamkan nilai keadilan kepada para peserta didik, tetapi di lingkungan sekolah itu mereka terang-terangan menyaksikan berbagai bentuk ketidakadilan, maka di sekolah itu tidak tercipta iklim dan suasana yang mendukung keberhasilan pendidikan nilai. (Seperti praktek jual-beli soal, mark up nilai, pemaksaan pembelian buku dsb)<br />
2. Tindakan nyata dan penghayatan hidup dari para pendidik atau sikap keteladanan mereka dalam menghayati nilai-nilai yang mereka ajarkan akan dapat secara instingtif mengimbas dan efektif berpengaruh pada peserta didik. Sebagai contoh, kalau guru sendiri memberi kesaksikan hidup sebagai pribadi yang selalu berdisiplin, maka kalau ia mengajarkan sikap dan nilai disiplin pada peserta didiknya, ia akan lebih disegani.<br />
3. Semua pendidik di sekolah, terutama para guru pendidikan jasmani perlu jeli melihat peluang-peluang yang ada, baik secara kurikuler maupun non/ekstra kurikuler, untuk menyadarkan pentingnya sikap dan perilaku positif dalam hidup bersama dengan orang lain, baik dalam keluarga, sekolah, maupun dalam masyarakat. Misalnya sebelum pelajaran dimulai, guru menegaskan bila anak tidak mengikuti pelajaran karena membolos, maka nilai pelajaran akan dikurangi.<br />
4. Secara kurikuler pendidikan nilai yang membentuk sikap dan perilaku positif juga bisa diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri, misalnya dengan pendidikan budi pekerti. Akan tetapi penulis tidak menyarankan untuk di lakukan.<br />
5. Melalui pembinaan rohani siswa, melalui kegiatan pramuka, olahraga, organisasi, pelayanan sosial, karya wisata, lomba, kelompok studi, teater, dll. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut para pembina melihat peluang dan kemampuannya menjalin komunikasi antar pribadi yang cukup mendalam dengan peserta didik.<br />
<b> </b><br />
<b>Kesimpulan</b><br />
Penulis mencoba merekomendasikan beberapa hal tentang pendidikan nilai dalam pendidikan jasmani berdasarkan latar belakang dan teori, diantaranya :<br />
1. Pendidikan etika konsepnya bersifat abstrak, sehingga pemberiannya harus lebih banyak pada perilaku dan contoh-contoh yang konstruktif.<br />
2. Pendidikan jasmani sebagai alat pendidikan mempercepat anak dalam mengembangkan konsep tentang moral.<br />
3. Mengamati realitas moral secara kritis, akan lebih dekat pada bentuk permainan, dimana mengamati realitas moral merupakan pendidikan etika.<br />
4. Dalam permainan compassion, fairness, spormanship dan integritas sangat lekat didalamnya sehingga mampu memberikan konsep pendidikan etika di dalamnya.<br />
5. Dukungan lingkungan sekolah dan masyarakat harus dijaga untuk menjaga iklim lingkungan sosial yang baik, agar mendukung pendidikan etika dan nilai.<br />
6. Guru pendidikan jasmani dapat mengajarkan nilai dan etika diluar jam pelajaran, terutama saat ektra kurikuler, kegiatan pramuka, organisasi klub olahraga sekolah dengan melihat peluang yang tepat dalam pendekatan individu.<br />
7. Membuat mata pelajaran tentang budi pekerti, tetapi hal ini perlu pembicaraan sesama seksama.<br />
Etika dan Masalah-masalah dalam Pendidikan Jasmani dan Olahraga 15<br />
<b> </b><br />
<b>DAFTAR PUSTAKA</b><br />
Franz Magnis Suseno, (1987) Etika Dasar, Masalah-masalah pokok filsafat<br />
moral. Yogyakarta: Perc. Kanisius, 1987.<br />
_________________, (2000), Kuasa & Moral. Jakarta: Gramedia Pustaka<br />
Utama.<br />
Ikhwanuddin Syarif (ed). (2001) Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia baru,<br />
70 tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed. Jakarta: Grasindo, 2001.<br />
Richard Tinning, et., al, (2001) Becoming a physical education teacher,<br />
Australia: Printice hall.<br />
Rusli Lutan (ed)., (2001) Olahraga dan Etika Fair Play. Direktorat<br />
Pemberdayaan IPTEK Olahraga, Dirjen OR, Depdiknas, Jakarta: CV.<br />
Berdua Satutujuan.<br />
Sutan Zanti dan Syahniar Syahrun, (1993) Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta:<br />
Dirjeb Pend. Tinggi.<br />
William H. Freeman, 6th ed. (2001) Physical Education and sport in a changing<br />
society. Boston: Allyn & Bacon.<br />
Wendy Kohli (ed).,(1995) Critical Conversations in Pholosophy of Education.<br />
New York: Routledge.IQBHALGREBYhttp://www.blogger.com/profile/08185068851376913850noreply@blogger.com0